Kamis, 06 November 2014

Cium aku sekali lagi

Cium aku sekali lagi


“ Seperti kata Sapardi : yang fana adalah waktu, kita abadi. Bagiku yang fana adalah kita, ciuman abadi “.



                Di sebuah kamar yang kesepian, kami berciuman, bibirnya menyentuh bibirku, memagut-magut bibir atas kemudian bibir bawahku, tapi aku masih terdiam, tak membalas. Hingga sampai pada tiga menit kemudian, hingga sampai debar di jantungku kembali normal, aku membuka perlahan bibirku, memberi jalan agar lidahnya masuk dan menemukan lidahku. Kami kembali berciuman, saling memagut  dan menarik, seolah tak ingin terlepaskan. Kami berciuman lama sekali, tak menghiraukan apa-apa, tak malu pada cicak yang terus memperhatikan kami dari atas langit-langit, tak malu pada gorden, pada jendela, pada meja, pada kursi, pada rak buku, dan segala apapun yang  ada di kamar ini. Kami terus berciuman, semakin lama, semakin menjadi-jadi, hingga cahaya lampu kamar menjadi sekejap gelap sekejap terang. Tangannya menggenggam penuh wajahku, sesekali melingkar di leherku. Kami terus berciuman sambil berpelukan sampai larut malam.

                Selepas hari itu kami semakin intim bertemu, merencanakan banyak ciuman,  sepertinya masa depan kami adalah sebuah ciuman, segala-galanya tentang ciuman, tidak ada yang lain, tidak membicarakan soal hati, atau tentang bagaimana perasaan kami masing-masing, awal perkenalan pun hanya tentang ciuman, bukan siapa namamu atau berapa usiamu, melainkan kami saling memuji kepiawain  soal berciuman. Bagiku dia adalah pencium  terbaik, bibirnya manis , rasanya seperti mengulum sebuah kembang gula yang lembut dan legit, setiap kali berciuman dengannya, aku merasa seperti bejalan-jalan menuju sebuah dunia yang tak satu orang pun tahu.

                Kami terus kembali berciuman, satu hari, seminggu, sebulan, kami terus merencanakan sebuah ciuman yang panjang, ciuman yang takan pernah selesai, kami begitu saling mengenal, bukan soal nama atau siapa kami, melainkan tentang sebuah ciuman. Tak ada yang kami kenali dari masing-masing selain dari ciuman yang begitu tiba-tiba dan tergesa-gesa. Kami terus berciuman, pagi, malam, subuh, kami akan selalu terus berciuman.

                Suatu hari, ketika dia yang entah siapa namanya tak menghubungiku, aku cemas, aku dahaga, ingin minum dari mulutnya, ingin berciuman, aku kesepian, kedinginan. Sampai pada suatu malam yang gerimis, seseorang mengetuk pintu, ia datang dengan baju yang basah, rambut  lepek, dan mata yang sendu, aku meraihnya, memberikan handuk, memandangnya sejenak, matanya sendu dan berat, ia seperti menahan sesuatu.

“  Ada apa ? mengapa datang  tiba-tiba, kau lupa menyimapan nomorku ? pantas saja, beberapa hari ini aku menunggu kabarmu, kau tak seperti biasanya “, tanyaku.
“ Apa kau tahu namaku ? “. Tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku.
“ Maksudmu ? mengapa kau tiba-tiba bertanya demikian ? “ tanyaku terheran-heran.
“ Aku tak datang berahari-hari, bukan karena kehilangan nomormu, hanya saja aku sedang berfikir tentang kita, menurutmu apa pantas  dua orang yang tak saling mengenal, berciuman seperti dua orang yang saling mengenal ? “.
“ .... “, aku terkejut, jantungku berdegup semakin cepat, sepeti di pukul sesuatu yang tak berjeda, aku tak membalasnya, menunggu ia mengucapkan beberapa kalimat lagi, menunggu ia menjelaskan maksud dari pertanyaannya. Tapi ia juga terdiam, kepalanya menunduk, terus menatap ke bawah, entah menatap kakinya sendiri atau lantai, ia mengela nafas dengan berat, matanya terpejam.  Kami sama-sama terdiam begitu lama.

“ Aku mencintaimu “. Ucapnya memecah kesunyian. Ucapannya membuat dadaku semakin sesak, aku ingin menangis, aku ingin tertawa, dan aku ingin menghilang, ke mana saja, asal tak bertemu dengannya, sebab aku tak tahu harus bagaimana.
 “ kamu apa....? maksudmu ? “.
“ Aku mencintaimu, sebab itu beberapa hari ini aku memilih untuk tidak bertemu kamu, akupun terkejut,  kupikir ini hanya perasaan sesaat, tapi tidak bertemu kamu membuat ku sakit, membuat dadaku sesak, aku rindu kamu, ini hal yang gila ! sebab seseorang sedang mencintaiku dengan giatnya, seseorang sedang merindukanku dengan khusuk, aku sudah punya kekasih tapi aku ingin mencium kamu berkali-kali, aku ingin mencium kamu tanpa selesai, tapi dengan perasaan, aku ingin mencium perasaanmu, memagut dan menariknya. Aku menyesal membuang-buang waktu dengan tidak bertemu kamu, kupikir aku bisa melupakanmu, tapi sesuatu di dalam hatiku berontak, aku takut kehilanganmu ! Aku ingin mencium kamu sekali lagi dengan perasaan “. Jelasnya.

Aku masih terdiam, seolah tak menyangka, bagaimana bisa sesuatu yang aku pikir tidak mungkin adalah sesuatu yang mungkin, aku mencintainya juga, sejak pertama kali kami berciuman, aku mencintainya juga, sebab itu, aku terus menciumnya. Tapi mendengar ucapannya membuat aku terluka, rasanya seperti dijatuhkan dari atas langit ke bumi, rasanya seperti di kunci di sebuah ruang kosong, sepi, dan gelap, tidak boleh keluar tapi tak sekalipun ditemani, segala kehilangan dan ketakutan ku rahasiakan sendiri.

“ Bagaimana jika aku mencintaimu juga ? “.
“ Ya, aku senang, sangat senang, setidaknya hatiku tak bertepuk sebelah tangan, aku juga senang, begitu senang, mengetahui bahwa selama kita berciuman, yang ku cium bukan hanya bibirmu, tapi hatimu juga, apa kau mencintaiku sebagaimana aku ? “.

“ Mencintaimu ? Sudah ku lakukan, sejak pertama kali kita saling berciuman, kau begitu tergesa-gesa menciumku, hingga sesuatu yang tumbuh di tempat lain tak kau sadari, aku menciummu berkali-kali, tapi tak pernah sampai pada bibir hatimu. Aku sudah mencintaimu sebelum bertemu, dan lebih mencintaimu sesudah bertemu “, jawabku.
            
Ia memelukku, sangat erat seperti tak ingin sesuatu terlepas, begitu juga aku, aku memeluknya begitu erat, sangat erat, seperti seorang kanak menggenggam kembang gula demi tak dipinta seseorang, kami saling terdiam dalam pelukan yang saling erat, begitu lama, sampai larut malam. Matanya sendu, merah, sesuatu yang tertahan belum juga ia tumpahkan, sementara mataku sudah menjelma semesta dengan gerimis yang abadi di dalamnya.

“ Aku bahagia, sangat bahagia, ternyata hati kita sudah saling  mengenali,  sudah saling berciuman. Maafkan aku, tak seharusnya aku mengatakan bahwa aku mencintaimu sementara aku tak memiliki kesiapan memilikimu, semestinya aku biarkan saja kau terus bertanya-tanya tentang perasaanku, biar tak ku lukai hatimu yang begitu sangat ingin ku rengkuh, tapi aku ingin kamu juga tahu, biar terus mengingat bahwa aku juga merindukanmu, aku kehilangan jika kau tak ada. Aku mencintaimu, sunggu ini kesalahanku “. Ucapnya, kali ini matanya yang sendu menjatuhkan gerimis, mengalir menuju pipinya, kemudian jatuh di bibirnya.

“Bukan salahmu, bukan juga salah cinta. Aku tak menyesal mencintaimu meskipun pada akhirnya tak ada satu pun darimu yang dapat aku miliki, aku mencintaimu tulus, tanpa tahu dari mana atau kapan atau mengapa, aku mencintaimu begitu saja, tidak tergesa-gesa, aku mencintaimu dengan tegas, aku mencintaimu dengan sebenar-benarnya, tanpa pemahaman, tanpa teori tanpa sebuah pelajaran, aku mencintaimu, bukan pula karena sudah menciummu berkali-kali, aku mencintaimu dengan sederhana, yaitu begitu merasa bahagia berada di sampingmu, meski tak melalukan hal yang besar. Aku mencintaimu, tak apa jika tak bisa memilikimu, ku rasa dengan mengetahui hatimu juga ku cium, dan kau mencintaiku karenanya, sudah cukup bagiku, tak ada yang ku harapkan lagi. Demi bisa melihatmu, atau bericuman seperti biasanya, aku tak meski memilikimu kan ? seperti halnya tak perlu mengetahui namamu, usiamu, bintangmu, atau apapun demi menciummu kan ? kita akan terus berciuman tanpa selesai. “.

“  Aku takut kehilanganmu, aku takut tak lagi dapat mencium kamu, aku takut seseorang teluka karenanya “. Ucapnya, seketika membuat dadaku seperti dilubangi, menghilangkan semua udara, aku tak bisa bernafas seketika, seperti pertama kali dia menciumku.

“ Dalam cinta, kau harus berani terluka dan melukai. Aku terima segala keputusanmu, entah jika kelak kau memilih melukai atau terluka, aku tak pernah merasa paling benar mencintaimu, sebab selama ini yang ku kenali adalah bibirmu, tidak dengan segala hal tentangmu, aku tak tahu apa yang kau sukai dan kau benci, bahkan namamu saja aku tak tahu. Tentu jika kau memilih melukaiku, kau tak akan merasa begitu bersalah. Lukailah jika harus melukaiku, kau mungkin tengah tersesat hingga sampai padaku, sedang  aku tidak demikian, segala tentangmu adalah ibukota yang ingin aku tuju, biarkan dengan sengaja aku tersesat di sana dan lupa cara kembali, sebab kau adalah satu-satunya semesta yang bagiku indah. kau tak sebena-benarnya jatuh cinta kepadaku. Maaf jika aku harus menghakimi kau demikian, aku melihatnya dari matamu, ada sesuatu yang tak rela kau lepaskan, mungkin seseorang yang sedang mencintaimu dengan giat. Jika kau benar mencintaiku, kau takan takut jika tak dapat lagi menciumku “.

Dia hanya terdiam mendengar ucapanku, entah apa yang coba dicerna kepalanya, ia menatapku terus dan terus, tatapannya sendu seperti biasa.

“ Kau benar, cinta soal melukai atau terluka, aku mencintaimu, bukan sekedar jatuh cinta, tapi tak sampai hati jika harus meninggalkannya, aku tak bisa begitu saja melukai hatinya, sedang dia begitu terlihat bahagia hanya dengan mencintaiku saja. Izinkan aku sejenak menghilang, biar aku tahu, seberapa nyeri kehilangan melukaiku, aku ingin tahu, siapa sebenarnya yang abadi di hatiku “.

“ Menghilanglah jika harus, itu tak akan mengubah apapun di dalamku, seperti halnya seseorang yang hanya dengan mencintaimu saja sudah bahagia, aku pun. Pergilah jika harus, tak usah cemas melukaiku, percayalah aku pandai merawat luka, sesekali maafkan jika aku harus menangis, sebab itu adalah satu-satunya cara terakhir saat tak ada lagi yang dapat aku lakukan ketika rindu “.

Ia menggenggam tanganku begitu erat, seperti tak ingin melepaskan atau tak ingin membuang-buang waktu terakhir, entahlah, yang pasti saat ini tak dapat ku jelaskan hatiku seperti apa. Sebenarnya tak ada satupun orang yang siap menerima kehilangan, tapi aku mampu meski memulainya dengan kepura-puraan, sampai akhirnya aku menyadari bahwa, tak ada satupun darinya yang ku miliki, maka Tuhan sekalipun tak dapat membuatku merasa kehilangan. Dengan tidak memilikinya aku telah memiliki dia selamanya.

Kami kembali berciuman, tidak tergesa-gesa, lidahnya memagut  lidahku, menarik tapi tak terlalu tertarik, biasa saja, sewajarnya, bibirnya tak semanis yang aku tahu,  kali ini rasanya seperti menyesap air laut yang asin, bibirnya yang manis sudah seaisin lautan. Kami terus berciuman sesekali berpelukan erat, lebih erat, seperti tak ingin ada sesuatu yang dilepaskan atau tak ingin membuang-buang waktu terakhir. Ia mencium kening, pipi dan bibirku berkali-kali sampai larut malam.

“ Boleh ku minta sesuatu darimu ? sebelum akhirnya tak ada satupun yang dapat  kupinta darimu ? “. Tanyanya, aku tak menjawab, hanya menggangguk pertanda mengizinkan.

“ Aku mohon, cintai dan rindukan aku sewajarnya, kelak pada akhirnya kita akan sendiri-diri , kehilangan itu pasti kan katamu ? aku tak ingin terus melukaimu karena kau mencintaiku, sebab aku tak ada di sampingmu, jangan membuatku takut, jika sewaktu-waktu yang menghapus air matamu bukan aku, selama aku menghilang, kita bertemu di satu titik yang sama : doa “. Ucapnya seraya bangkit dari kusri dan merapihkan pakaiannya sebelum pulang atau mungkin pergi entah ke mana dan sampai kapan.

“ Baiklah, akan ku lakukan yang kau pinta, namun maafkan aku jika kelak aku akan terus mencintaimu seperti orang gila, dan merindukanmu tak kenal waktu, segala sesuatu yang melukaiku biar aku rawat sendiri, terimakasih sudah menciumku bekali-kali, bibirmu akan selalu menjadi cawan minumku, dan tak ada yang ku kenali lagi darimu selain itu. Di mana pun kamu, setiap doa yang ku kirimkan, akan menjaga ingatanmu yang pendek, jangan lupakan aku, aku akan luka karenanya “.

Dia hanya tersenyum, seolah tahu apa yang harus di pahami dan di ucapkan atau ia tahu bahwa pecakapan ini takan selesai jika ia tak bergegas pergi, ia paham siapapun akan terus berjuang demi tak merasa kehilangan. Biar begitu, aku percaya aku tak merasa terluka dan kehilangan sendirian. Ia berjalan menuju pintu dan aku mengikutinya dari belakang.

“ Tunggu.. “. Kataku, begitu saja.
“ Cium aku sekali lagi “, pintaku.

Kami berciuman sekali lagi, lama sekali, ciuman yang tak akan pernah selesai.

“ aku luna “.
“ Seno J “.


Seno tak pernah kembali....
Sedang aku terus mencintainya.....
Seno  yang tak pernah kembali, tak pernah tahu.



2014
Untuk seseorang yang lupa kembali


Senin, 13 Oktober 2014

Perahu yang singgah

" sebab kekasih, sepi dapat menjelma apa saja, semisal detak jam yang berbunyi persis seperti nyeri "





Aku suka sekali melukis senja, dengan jingga dan warna langit yang keemas-emasan, seperti melukis sebuah perpisahan yang sendu, dengan sebuah perahu yang pulang menuju matahari dan tenggelam.

Sore ini senja sedang cantik-cantiknya, dan aku melukis di samping dermaga, masih dengan tema yang sama, namun kali ini ada yang berbeda, dari jauh sebuah perahu mengayuh mendekat ke sini, seseorang tepat berdiri di atasnya, aku melukis apa yang ku lihat, sebuah perahu yang datang bukan dari imajinasiku sendiri, melainkan dari tempat yang entah apa namanya.

" Permisi mbak, boleh saya tahu ini di mana ? " laki-laki yang turun dari perahu itu bertanya.
" nganu mas...em.....desa singgah mas " , aku menjawabnya dengan gugup, sebab senyumnya seketika membuat dadaku sesak.

" kalau boleh saya tahu, dari desa singgah ke kota Nara berapa lama lagi ya ? "

" Kota Nara ? mas mau ke sana ? saya tidak tahu mas, seluruh penduduk sini selalu bermimpi pergi ke sana, hanya beberapa orang saja yang sudah pernah, kalau mas mau ke sana, mungkin butuh waktu yang lama, tapi bisa saja sampai dengan waktu yang cepat, lebih tepatnya, mas bisa sampai sesuai yang mas mau " , jawabku, sambil bertanya-tanya mengapa seorang laki-laki yang datang bersama perahu itu mau pergi ke kota Nara seorang diri.


" Tapi mengapa setiap penduduk di sini bermimpi ke sana, semestinya siapapun bisa, siapapun punya perahu ? kamu sendiri pernah ke sana ?", tanyanya penasaran.

" Kota Nara. Kota kebahagiaan, konon orang pertama yang menemukannya datang dengan seseorang yang ia cintai, mereka memberi nama kota itu dengan kota nara, di ambil dari bahasa Yunani yang artinya bahagia, mereka hidup bersama-sama hingga akhirnya mati bersama di sana. Siapapun memang semsetinya bisa pergi ke sana, tapi penduduk di sini tak pandai berenang, termasuk saya, di perjalan, akan selalu ada badai dan ombak yang besar, karena itu sekalipun ada yang pernah ke sana, mereka tidak pergi sendiri."

" memang tak ada yang menemanimu pergi ke sana ? ".

" beberapa kali seseorang datang, mereka mengajakku, namun ketika aku siap, mereka pergi begitu saja meninggalkan aku, maka dari itu, sampai saat ini aku tidak tahu kota Nara seperti apa ".

Ia tak membalas ucapanku, hanya memandang wajahku yang kelelahan. matanya indah meski sendu, ada senja di matanya yang lebih indah dari pada senja yang ku temukan di dermaga, langit di matanya lebih jingga dan keemas-emasan di bandingkan langit yang ku pandang di atas kepala, semenjak hari ini, matanya adalah semesta yang ingin ku tuju selain dari kota Nara.

" Kau suka melukis senja ? ", tanyanya seraya memecah lamunanku.
" ah...iya, namun tak begitu pandai ".
" kau suka sekali senja ? kenapa ?".
" suka sekali, entah kenapa, sampai saat ini pun aku belum tahu, yang pasti aku selalu datang ke sini, menunggu senja dan melukisnya ".
" ah itu seperti perahuku ", ucapnya sambil menunjuk ke arah lukisanku.
" ah heheh iya, itu perahumu, aku melukisnya, tak apa kan ? aku suka perahumu yang seolah muncul dari cahaya matahari ".
" ahahahhahahahha tak apa, melukislah apapun yang kau lihat, itu indah sekali, ya seperti hal nya kau, aku pun mencintai perahuku, ia menemaniku ke mana pun, oh ya, aku memberi nama perahuku, kau mau tahu ? ".
" apa ? ".
" waktu ..".
" waktu ? kenapa harus waktu ? ".
" sebab waktu adalah segalanya, aku selalu menggunakan perahuku di saat waktu yang tepat menurutku ".
" ah..kau ini, ada-ada saja, oh iya namamu siapa ? ".
" ah... iya hampir lupa berkenalan, perkenalkan namaku Panji, kau sendiri ?".
" Ambar ".
" Ambar, nama yang cantik, oh ya...ngomong-ngomong ada penginapan di sini ? saya cukup lelah kalau harus melanjutkan perjalanan menuju kota nara ".
" kebetulan sekali mas, saya memiliki penginapan, mari saya antar ".
" mari Ambar, terimakasih sebelumnya ".
" Terimakasih kembali mas Panji ".


kami berjalan meninggalkan dermaga, senja pun pulang, langit kian mengabu dan semakin hitam, sepanjang perjalanan menuju penginapan, laki-laki itu memperhatikan beberapa orang yang sedang memeluk tubuhnya sendiri, dengan hujan yang deras mengalir bukan dari langit melainkan mata mereka, bibir laki-laki itu terkatup, matanya terbuka lebar, seolah tak percaya apa yang ia saksikan. pandangan laki-laki itu berpaling menuju dermaga, di mana ada seorang wanita yang mengikatkan tubuhnya di bawah perahu, sedang seorang laki-laki bersama wanita lain turun dari perahu dengan wajah yang berseri.

" kau ingin tahu bukan, mengapa ada seorang wanita mengikatkan tubuh di bawah perahu milik seseorang ? ", tanyaku.
" iya, aku tak paham kenapa harus seperti itu ". jawabnya sedikit bingung.
" wanita yang mengikatkan diri di bawah perahu itu adalah Rani, sahabatku, dan laki-laki yang turun dari perahu bersama wanita lain adalah Kasmir, kekasihnya. Sudah ku bilang pada Rani untuk berhenti mencintainya, tapi dadanya begitu lapang, katanya, sebesar apapun luka masih sanggup ia simpan di dadanya, sebab itu kemana pun Kasmir pergi, dengan siapapun, ia pasti akan menemani. sudah bertahun-tahun Rani seperti itu, sepanjang hari, Rani selalu berharap bahwa ia akan menjadi mejikuhibiniun-nya Kasmir, serupa pilihan kedua, ah Rani tidak berharap apapun selain selalu di ingat Kasmir ketika tak ada yang datang padanya saat ia begitu membutuhkan, Rani selalu ingin di butuhkan. ah kau tak akan bisa membayangkan betapa maha lukanya hati Rani yang lapang ". jelasku, Panji terdiam, matanya sendu semakin sendu, mungkin ia sedang mencoba merasakan apa yang Rani rasakan.

" Sudah sampai, tidurlah, istirahatlah, matamu butuh lelap, besok ku bangunkan biar kau tak terlambat menuju Kota Nara ".
" Baiklah, Ambar, terimakasih".

Aku tersenyum kepadanya, begitu pun ia, matanya terpejam, wajahnya seolah mengatakan lelah, aku mengintip di balik pintu yang sedikit terbuka, begitu pun kiranya dengan hatiku, mungkin matanya yang sendu sudah menemukan jalan menuju hatiku, tapi ia hanya singgah, besok ia akan pergi, ke kota Nara seorang diri, " seorang diri ? ", ia pergi seorang diri ? bagaimana jika ia tak bisa berenang ? bagaimana jika badai dan ombak besar menelan perahunya dan dia tenggelam, bagaimana jika ia tak pernah sampai ke kota Nara ?, bagaimana jika aku mencintainya dan tak ingin kehilangan ?. Ah...dadaku sesak semakin sesak, seluruh tanda tanya penuh di kepala, apa yang harus aku lakukan ? membangunkannya pagi hari dan mengucapkan selamat tinggal ? ahhhh tidak, tidak mungkin aku mencintainya, ia hanyalah orang asing yang singgah karena lelah, aku bukanlah siapa-siapa, lagi pula tak mungkin hanya karena setengah hari ia bisa mencintaiku juga, hatinya mungkin tak seajaib hatiku, yang tak membutuhkan waktu lama demi jatuh cinta.



pukul satu, siang hari, ya.. aku memilih tak membangunkannya, karena ia terlihat begitu kelelahan, di samping itu aku masih ingin ia di sini, melihatku melukis, mendengar ceritaku tentang kota Nara dan desa singgah, aku masih ingin melihatnya sekali lagi, sebelum akhirnya ia pergi menuju kota Nara.


" selamat siang, kau tidak membangunkanku ? ah aku sudah terlambat, Ambar boleh aku menginap beberapa hari lagi di sini ? ".
" kau tak marah ? maaf aku pun baru saja bangun, ahhh kau ini, kenapa tidak, tinggalah sesuka yang kau mau ".
" Terimakasih Ambar, jadi hari ini kau ingin melakukan apa ? ".
" Pergi ke dermaga, dan melukis, kau mau ikut ?".
" ah boleh, senang sekali bisa menemani dan melihatmu melukis sekali lagi ".


lalu kami pergi bersama menuju dermaga, senja masih secantik kemarin, masih berseri-seri. Aku mulai melukis senja, dengan sebuah perahu yang bertengger di ujung pantai, perahu milik Panji, yang pagi ini terpaksa tak berlayar, karena pemiliknya sengaja tak ku bangunkan.

" Aku suka melihat perahumu di sana panji ", ucapku.
" :) ", ia hanya tersenyum membalas ucapanku, matanya terus memandang kanvas, sesekali mengikuti gerak jariku yang menari-nari bersama kuas.
" kau melukis senja di mana ? yang ini tak seperti senja yang kita lihat sekarang".
" Aku melukis senja yang terpantul dari matamu, di sana, jika kau bisa lihat, kau punya senja paling indah dari senja milik Tuhan, aku melukisnya, memang tak bisa seindah yang ku lihat.".
" sebenarnya, jika akupun bisa melukis sepandai kamu, akan ku lukis senja yang serupa, senja yang ku lihat dari matamu juga ".

kami kembali tersenyum, matanya sendu semakin sendu, matanya berbahasa seolah memintaku memaksa menahannya tinggal, kemudian tanganya menggenggamku, ahh semoga ia merasakan bahwa jantungku bekerja lebih giat dari biasanya, ada debar yang maha getar. seketika, bibirnya sampai pada bibirku, rasanya seperti menyesap sebuah anggur, manis dan memabukkan, ciuman yang begitu tergesa-gesa, ciuman yang membuat semesta sekejap gelap-sekejap terang. Ah Tuhan, aku jatuh cinta ( lagi ).


Tiga hari berlalu, selama bersamanya banyak yang diingat semesta, tentang bagaimana ia datang seperti orang asing, mencari sebuah penginapan, memuja-muji lukisanku, dan kemudian sampai pada menciumku dengan begitu tergesa-gesa, ciuman yang tak bisa ku jelaskan dengan kata, ciuman yang membawaku tenggelam. Sampai pada akhirnya, ia memutuskan pergi menuju kota Nara, kota tujuannya.

" Ambar, aku pamit menuju kota Nara ".
" Tunggu, aku ikut ".
" Tidak Ambar, aku akan berangkat sendiri ".
" Tak ada yang selamat jika pergi sendiri Panji, aku harus bersamamu, kau pun tahu aku sangat ingin pergi ke sana ".
" Ambar, aku ke sana untuk menjemput seseorang ".
" Panji, apakah menurutmu singgah di sini adalah waktu yang tepat ? ".
" Tidak Ambar, maafkan aku, aku hanya merasa sangat lelah, aku butuh istirahat, sampai akhirnya aku bertemu kamu dan ingin lebih lama tinggal, maafkan aku Ambar tak seharusnya aku memutuskan lebih lama menginap di sini, tak seharusnya aku terus berlari menuju hatimu, Ambar maafkan aku, aku harus pergi menuju kota Nara, seseorang sudah menungguku lama sekali ".
" Mengapa kau tak mengatakannya dari awal Panji ? mengapa kau membiarkan aku mengizinkan kau lebih lama lagi tinggal ? mengapa kau harus pergi ketika aku mulai mencintai kamu ? sunggu aku tak ingin kehilangan, aku mau selamanya kau di sampingku, dan kita akan pergi ke Kota Nara bersama-sama, Panji aku ingin ke sana bersamamu. ", dadaku sesak, matanya yang sendu seolah menusukku, aku ingin sekali menahannya, tapi tubuhku tak bisa apa-apa.
" Ambar, sungguh maafkan aku, aku harus pergi, sebab aku pun sudah tahu, aku cinta kamu Ambar, dan tak ingin lebih jauh menikmatinya, seseorang di sana sedang menungguku dengan penuh harap, aku tak mungkin begitu tega mematahkan hatinya dengan tidak datang, sungguh hatiku sudah bercabang, aku tak ingin meninggalkanmu dengan perasaan yang menggebu-gebu, sungguh Ambar aku bahagia mengetahui kau juga mencintaiku, tapi aku tak memiliki kesiapan memilikimu, sedang ada tempat lain yang harus ku tuju, Ambar sekalipun kau adalah singgah, kau adalah singgah yang suatu saat nanti aku ingin mati dan selamanya di sana, kau adalah singgah yang di sanalah ku simpan hatiku. Ambar maafkan aku, aku tak bisa di sini lebih lama lagi, aku harus pergi, Ambar sekali lagi maafkan aku." ucapnya masih dengan mata yang sendu dan merah.

aku tak lagi mampu mengucapkan apa-apa, belum usai tawa kemarin aku harus menangis hari ini, aku selalu gagal belajar membaca perasaan waktu, hingga kehiangan tak bisa ku tebak kapan datangnya sebab itu aku tak memiiki kesiapan menyambut sepi.

" Panji, aku mencintaimu, sungguh, aku pun tak ingin kehilanganmu, sungguh, tapi sebab aku mencintaimu, kau ku izinkan pergi, kau ku izinkan menjemput harapan lain, ku izinkan kau ke kota Nara, tapi tak ku biarkan kau seorang diri, Panji aku akan seperti Rani, mengikatkan tubuhku di bawah perahumu, jika badai menelan perahumu dan kau tak bisa berenang, aku akan menjadi tubuh yang mengangkatmu kembali ke daratan, kau tak bisa menahanku Panji sebab aku mencintaimu, dan aku harus menjaga keselamatanmu. Panji yang ku cintai, aku paham betapa ada seseorang yang lebih luka dari pada aku jika kehilanganmu, aku paham kau ke sana sebab tak ingin melukai seseorang yang sudah lama menunggumu, maka pergilah Panji, aku pandai merawat luka, sekalipun sesekali aku menangis, maafkan untuk itu. Aku akan meniru tabah matamu Panji, yang tak menerjemakan apapun, padahal melepasku pun adalah luka, pergilah, nanti kau terlambat. ". jawabku dengan air mata yang jatuh perlahan-lahan.


" Ambar, jangan menangis, aku mohon, itu membuatku semakin tak ingin pergi, Ambar kau harus bisa tanpaku, kau bahagia saat aku belum datang, kau pun harus bahagia ketika aku pergi, Ambar ku izinkan kau melupakan aku jika itu membuat air matamu berhenti, jangan menangis Ambar, hatiku luka melihatnya.".

" Panji, minta apa saja padaku, akan ku kabulkan, asal jangan memintaku untuk melupakan, ingatan adalah satu-satunya tempat yang rela merawatmu, di sanalah kau abadi, sedang aku tak bisa berjanji jika kau memintaku berhenti menangis, sebab Panji, selepas kepergianmu, mataku menjelma semesta dengan hujan yang abadi, aku tak pandai menahan gerimis yang deras dari sana, tapi aku berjanji Panji, aku akan pandai merawat luka, dan sepi, sekalipun sepi dapat menjelma apa saja, semisal detak jam yang berbunyi persis seperti nyeri. Panji, tutup matamu, biar tak lagi kau lihat rupa-rupa luka yang di terjemahkan mataku, pergilah sekarang, jangan biarkan dia menunggu lebih lama lagi, dia bisa menagis seperti aku, nanti hatimu semakin luka ".

aku membantunya merapihkan barang-barang, sambil sesekali mengusap dadaku yang nyeri, ia terus memandang mataku, ia begitu takut ada gerimis yang jatuh lagi, ia memelukku lebih erat dari biasanya, ia menciumku dengan lembut dan tidak tergesa-gesa seperti biasanya, ia memandangku lebih lama, ia tersenyum sambil memintaku mengantarnya menuju perahu.

" Ambar yang ku cinta, terimakasih sudah menjagaku, mengizinkanku tinggal, Ambar yang ku sayangi berjanjilah kau akan bahagia tanpaku, kau akan bahagia."


matanya sendu semakin sendu, di sana semesta dengan senja paling cantik dan abadi hanya milikku, ku pandang lebih lama biar semakin lekat dalam ingatan, aku berhenti melukis senja, terakhir aku melukis senja dari semesta di dalam matanya, kanvasnya ku gulung, dengan selembar puisi yang semalam ku tulis untuk Panji, ku berikan selembar puisi ke padanya yang ku pinta padanya untu membaca ketika sampai, sedang lukisan itu ku genggam. ku ikat tubuhku di bawah perahu milik Panji. dan kami berlayar menuju kota Nara.



okt, 2014

Panji yang ku cintaibagiku kehilangan seperti sebuah arloji yang mati, aku tak mengenal waktu juga hari esoksedang bagiku rindu seperti iman, dan namamu adalah rukun iman terakhir di mana hanya akulah yang menunaikannya

Panji yang ku cintaiku tulis puisi ini untukmu, puisi terakhir yang ku tulis penuh lukatapi tak apa , Panji, aku memaafkanmu, dadaku adalah maaf yang lapang, meski kau lukai berkali-kali

aku mencintaimu, sebab itu, Panji, aku menjelma segala doayang senantiasa menyertai setiap kamu di mana sajaaku terus melihatmu, akan terusmeski lewat doa yang khusyuk

Panji yang ku cintaiku tulis puisi ini, puisi terakhir buatmuyang kalimatnya tak lain adalah rerimbun rindu yang tumbuh di dadaku yang lukakarenanya aku berharap, kau akan merawat ingatanmusebab kehilangan tak seperih di lupakan, Panji.

Panji yang ku cintaiAdalah kita, ciuman yang begitu tergesa-gesaAdalah kita, senja-senja yang menawarkan perpisahan
Panji yang ku cintaidi manapun kamu, aku ada di dalammumeski sudah tiada.

2014Untuk Semestaku, Panji.





P.S : Ambar, aku sudah sampai, karenamu, terimakasih Ambar, berkatmu aku di sini tak lagi membuatnya menangis, terimakasih telah menyelamatkanku dari badai, membawaku ke daratan, sedang kau harus terluka, tubuhmu tenggelam selepas menyelamatkanku, terimakasih Ambar kau begitu mencintai denganl luga, cintamu seperti seorang kanak yang tak takut apapun. Ambar aku sudah sampai di Kota Nara, semoga kau pun sampai, aku sudah menjemputnya, ia tak menangis, ia bahagia melihatku, semoga kau pun, Ambar maafkan aku, sebab hatimu harus terluka karena ku cintai.
tidakkah aku terlihat seperti Kasmir ? dan kau seperti Rani yang rela mengikatkan tubuhnya di bawah perahu demi menjaga seseorang yang dia cintai, maafkan aku Ambar.
aku membaca puisimu dengan menangis, sedang kau menulisnya dengan berdarah-darah, aku membacanya sambil mengingat kamu, betapa kau pernah di sampingku, betapa kita pernah sama-sama bahagia, maafkan aku sekali lagi Ambar yang cantik, Ambar yang ku cintai, Ambar yang ku sesali ku lepaskan, maafkan aku, maafkan aku.
seperti kamu Ambar, aku berjanji merawat ingatanku, ingatanku milikmu selamanya, tempat yang hanya ku sediakan untukmu.

Ambar, aku mencintai, dan terimakasih sudah melepasku.



2014
Untuk Ambar





Aku sudah tenggelam tepat di atas kota Nara, mengantarnya menuju kebahagian adalah pengorbanan yang ku yakini di puja-puji Tuhan, tidakkah Tuhan pun akan menangis ?
Panji yang ku cintai sudah memeluk yang lain, semoga pelukkan yang lain tak menghapus hangatnya pelukanku, Panji yang ku cintai sudah mencium bibir lain, dan semoga tetap bibrku yang ia kenali.
ada sebuah botol kaca, dengan selembar kertas, aku baca dan aku menangis sambil memeluk tubuh sendiri, rupanya ini adalah surat yang di tulis Panji buatku.

Panji, di sini begitu sepi, di sini begitu dingin, di sini begitu sesak, di dadaku ada lautan yang lebih dalam dari ini, membuat tidak bisa bernafas, Panji andai kamu di sini.






2014
Untuk laki-laki harmonika




Rabu, 08 Oktober 2014

Sepotong Surat untuk Ayah di surga

Untuk Ayah di Surga




Ayah di surga, apa kabar ?
tentu ingat aku kan ? gadis kecil yang pernah kau pangku sambil begitu senang, memang tidak begitu lama kau menimang-nimang aku, bagiku 4 tahun bersamamu adalah waktu yang singkat yang diberikan Tuhan, ah tapi karenanya aku belajar memahami kehilangan, kehilangan tidak memiliki rencana kan Ayah ? karena itu, ku penuhi seisi dadaku dengan puisi, biar kehilangan tak di kunjungi sepi.

lalu selepas kepergianmu, semua tidak begitu baik, mataku seketika menjelama semesta dengan hujan yang abadi di dalamnya, dadaku sesak begitu menyesak, sedang hatiku penuh rindu yang tak kunjung usai.
sepanjang malam, mimpi-mimpi tak pernah membawamu, seolah tak mengizinkan temu, lalu aku memilih terjaga dari kantuk, memilih membaca berulang-ulang kenangan yang ku miliki seadanya.
aku pengingat yang buruk Ayah, maafkan untuk itu, demi mengingatmu, aku belajar memeluk diksi sebuah puisi, di dalamnya aku mengabadikan engkau Ayah, dan demi mengingatmu, aku belajar karib dengan kuas juga kanvas, di dalamnya aku mencoba menyimpan ingatan wajahmu yang teduh dan sendu.

sekarang aku menjelma gadis dewasa, aku punya sahabat, aku punya seseorang selain engkau yang sesekali aku rindukan, tapi mereka seperti engkau Ayah, yang datang kemudian hilang, aku belajar kehilangan darimu Ayah, aku paham, bahwa setiap orang tak memiliki nama selain singgah, semua hal di dunia ini bukankah berjalan beriringan ? kesedihan dan kebahagiaan, suka dan duka, debar dan sesak, dan masih banyak lagi.


Tuhan menempatkan aku di sebuah jalan yang penuh liku, dimana terkadang aku perlu mengayuh demi sampai, terkadang butuh memanjat, sesekali melompat, tapi aku tidak pandai bersembunyi dari luka, mataku tak punya cara terbaik menahan gerimis, sekalipun aku pandai memeluk kehilangan, Ayah, sesekali aku juga menangis, sebab di dadaku semua sesak tak lagi bisa ku redam, seolah dadaku penuh lautan, aku tak bisa bernafas, aku tak bisa menahan sebuah pintu yang terbuka, di mana kesepian berdiri di depan pintu untuk masuk. Aku pendusta yang tak pandai Ayah, sesekali mungkin memang aku berhasil melewatinya, namu tak jarang Ayah aku kerap kali tak setabah puisi.

Ayah, maafkan untuk itu, untuk kelemahan yang tak bisa setabah yang ku andaikan, maaf jika gerimis di mataku sampai padamu adalah hujan yang deras, sebab sekalipun selepas pergimu kita tak pernah bertemu, aku selalu merasa engkau terus melihatku, entah itu matamu atau mata doa, aku selalu percaya bahwa di rumah Tuhan siapapun bisa berdoa, sebab itu, luka sekecil apapun yang memelukku, memelukmu juga.
maafkan untuk itu Ayah.

sepotong surat ini ku tulis demi menyampaikan padamu, bahwa aku di sini baik-baik saja, meski kerap kali luka memelukku lebih mesra, namun,,,tak apa, Ayah tak usah khwatir, aku pandai merawatnya, biar ku maknai luka sebagai aneka kecil dari ujian, di mana aku pasti memenangkannya.




Dari yang merindukanmu

            Doa

Rabu, 03 September 2014

Seperti kamar yang kesepian

Seperti kamar yang kesepian

Aku  berangkat  dari  ketiadaan  untuk  mencari ketiadaan,  dalam  kesepian  cinta  padamu  ku  sempurnakan.


Kau  suka sekali berjalan kaki,  bukan  karena  tidak  memiliki  kendaraan,  tapi  karena  tidak  bisa  mengendarainya,  itu  lucu  sekali  buatku.  Aku  tidak  suka  berjalan  kaki namun  aku  tidak  kerepotan  jika  harus  menemanimu  berjalan,  sekalipun  panas  terik,  atau  harus  basah  kuyup  karena  hujan,  semua ini   karena  berjalan  beriringan  denganmu  lebih  menyenangkan  ketimbang  harus  sendirian  di  dalam  kendaraan.
Malam  itu  kau  memintaku  bertemu  di sebuah  coffee shop , aku  datang  lebih  dulu,  sambil  menunggu  aku  memesan  secangkir  espresso, beberapa  menit  kemudian  kau  sampai  dengan  baju  yang  basah.
“ Maaf  menunggu  lama  ya ? di luar hujan, tadi terpaksa  aku harus  meneduh “,  Katamu sambil meneguk coffee yang sudah ku pesan.
 “ uhhh pahit  sekali “ katamu lagi.
“  kamu ini, makanya jangan asal main teguk, kau sudah tahu apa yang selalu aku minum, kau lebih suka teh dari pada kopi hitam “, balasku sedikit kesal.
“ ia maaf, yasudah hayu kita jalan lagi, takut kemalaman “.
“ hayu “, balasku sambil kami sama-sama bergegas.
Malam  yang  kedatangan  hujan,  dan  aku yang di hampirinya tentu sama-sama sedang merayakan kebahagiaan. Kita berjalan beriringan di bawa hujan  namun tidak di bawah payung, badannya yang jangkung mencoba menahan gerimis  yang  jatuh di rambutku dengan jaketnya, sungguh  kebahagiaanku  ini  mampu mengalahakan  kebahagiaan dua mempelai pengantin sekalipun.
Sepanjang malam kita habiskan dengan berjalan, kau suka sekali berjalan ya jangkung, aku kelelahan namun  aku tak kerepotan, sekalipun kau mengajakku  berlari mengejar matahari pagi.  Lalu langkah kita berhenti di sebuah kamar yang kesepian.  Selepas membersihkan diri kau dan aku duduk bersampingan, kaki kita sama-sama lelah, namun masih mau berjalan beriringan.  Kau menatapku begitu dalam, matamu semisal sajak yang menusuk kedalaman jiwa, sesekali terasa bagai mata laki-laki menelanjangi kupu-kupu malam, lalu tanganmu yang dingin menyentuh bibirku yang mengigil, seketika ciumanmu tandas di bibirku, jatuh perlahan, lalu berdiam, ciumanmu yang basah  lebih dulu sampai dari pada embun pagi hari yang jatuh ke tanah, lalu pada mataku, seketika semesta sekejap terang sekejap gelap, ciumanmu yang hangat menyelamatkanku dari kedinginan.
Kamar yang kesepian ini tak lagi sunyi, ada sepasang  tubuh yang  jatuh di ranjang  seperti pertunjukan paling berahi, ada pula  desah yang terdengar bagai  lantunan orcesta, sesekali di setiap sekat  adegan  pelukan turut  di perankan, sebagai sepasang ballerina yang menari sambil mendekap lawan, dan tawa kecil seperti kembang api yang meletup-letup di udara. Malam ini meriah, kata kamar yang tak lagi kesepian.
“ kau suka begini ? “ tanyamu.
“ begini bagaimana maksudmu ? “ tanyaku sedikit bingung.
“ bersamaku berdua, bersembunyi dari keramain kota ? “.
“ bukankah aku sudah bersembunyi ? di hatimu yang tidak di ketahui siapa-siapa, bahkan hatimu sendiri, kau menyembunyikan aku dari hati yang lebih dulu kau kunjungi bukan ? dan kau bersembunyi di balik kesepianku,  hingga dalam kesepian cinta padamu ku sempurnakan “.
“ kau sudah ku tempatkan di hatiku, di tempat yang aman  “.
“ dimana ? “.
“ di hatiku! “.
“ dimana ? “.
 “ maksudmu ini apa ? sudah ku bilang kau ada di hatiku, di tempat yang  aman “.
“ aku bisa percaya kau menyimpanku di hatimu, di tempat yang kau bilang aman, tapi aku tidak percaya kau ingat dimana tepatnya aku di simpan, aku tak mau hanya di simpan, aku juga mau di kunjungi, jika kau lupa, lalu aku hanya berteman sepi di hatimu sendiri ? begitu ? “.
“ .... “.
“ kenapa diam ? “
“ dimana kau menyimpan aku?, jangan hanya tahu bagaimana meletakkan bibirmu di bibirku, tentu kamu sudah piawai, atau bagaimana caranya memeluk aku, ahhhh dimana tepatnya kamu m e n y i m p a n aku ? “.
“  aku minta maaf, kau begitu marah seperti ini mungkin kau sudah tahu, maaf memang tak seharusnya aku menyembunyikan semuanya,  di hatiku sudah padat, kamu ku simpan di dalam hati yang paling dalam, tenggelam, hingga mungkin tak bisa lagi ku raih. Aku tidak mencintainya tapi  juga tak bisa meninggalkannya, kamu lebih menyegarkan untukku lebih dari pagi hari, kamu lebih menenangkan buatku lebih dari malam hari yang sepi, kamu lebih menggairahkan dari pada sloki-sloki wiski, kamu mabuk yang ku cari, aku tak mengatakannya  musabab aku ingin kau terus merindukanku “.
“ sepertinya kau lebih pantas menjadi laila, lalu akulah majnunnya, aku sudah sampai padamu memang dengan menggebu-gebu, kau menerimaku dengan begitu hangat, memang untuk sampai padamu aku tidak perlu melewati terjal, namun sepanjang mencintaimulah aku harus  karib dengan luka, aku sudah terlalu jauh berjalan hingga lupa jalan pulang, aku mau bermukim saja di hatimu yang tak punya jalan keluar. Mencintaimu bukanlah soal menang atau kalah, mencintaimu bukan perdebatan yang harus di menangkan, bukan pulang perlombaan, kau pastilah tahu siapa yang bernama nyaman dan sebenar-benarnya pulang. Aku akan terus merindukanmu, hari ini, esok, dan entah sampai kapan  “.
Sekejap ruang ini hening, sepi seolah mematik api, membakar segalanya yang luka, membakar semuanya yang tadi begitu membahagiakan. Ciumanmu kembali lagi pada rumahnya di bibirku, pelukanmu pulang lagi kepada tubuhku, kau begitu takut  tidak di cintai padahal aku tidak akan berhenti, aku begitu takut kehilangan sedang pelukanmu erat hanya untuk mengingatkan bahwa aku mencintaimu.
Aku sudah tahu, begitu sampai di rumah, kau hanya mengingat-ngingat pertunjukan yang penuh desah,  tidak dengan aku, tidak dengan aku, tidak dengan aku yang tersesat di hatimu.
Aku kembali kesepian seperti kamar yang kembali sepi. Sepanjang mencintaimu, biarlah rindu ini tanpa nama, sepanjang mencintaimu biarlah kau bernama tiada, sebab aku akan lebih mengerti bagaimana perihnya kehilangan, dengan begitu dalam kesepian ini aku akan khusyuk berguru pada sepi, hingga cinta padamu dapat ku sempurnakan.
Datanglah padaku, kelak jika aku sudah padai mencintaimu, dan kau ingat dimana kau menyembunyikanku.
2014

Untuk pejalan kaki yang tersesat di hatinya sendiri

Selasa, 19 Agustus 2014

MERAYAKAN PENYESALAN





“ menemani sejarah adalah caraku merayakan penyesalan “










Sudah kubilang, aku tidak mencintaimu, namun kau masih saja keras kepala, berkali – kali kugantung cintamu di atas  sumbu yang berapi biar terbakar dan menjadi abu, namun kau balas bertubi – tubi dengan cinta yang menghujaniku, cinta yang membuat aku basah kuyup, cintamu yang  tidak tahu diri, membuat  semuanya berantakan.
Di pagi hari, cintamu datang serupa sarapan, kamu membuatnya memang dengan hati, namun sampai di tenggorokkanku hambar, rasa yang tidak enak itu penuh sepenuh – penuhnya, membuat aku sesak, jelas bukan, aku akan merasa begitu, karena aku tidak mencintaimu.
Di malam hari, cinta mu menjelma pelukan – pelukan tanpa tubuh, yang  menggerayangi seisi kamarku,  naik di atas ranjang, dan menyelinap ke dalam bajuku,  angin yang berhembus kecil sampai  menderu – deru sekalipun takut dengan pelukanmu, malam yang dingin dan kelaparan pun tunduk dengan kehangatan yang kau lingkarkan di sekujur tubuhku, cintamu menjagaku dari semua hal yang datang untuk melukai.
Pardi yang  kasihan, Pardi yang merenda harapan, jika aku terlihat baik kepadamu, tentu itu karena aku hanya ingin sekedar membalas kebaikan mu, catat bukan membalas cinta mu. Kau datang kepadaku, di saat senja yang baru ranum memerah keemasan, kuning yang di lipat – lipat  awan, membuat wajah langit  menor mempesona, kau datang dengan mengenakan jaket yang sakunya menggembul sampai membuat kau terlihat seperti badut, saku – saku mu penuh, aku heran apa yang kau selipkan disana Pardi, apakah itu yang selalu kau berikan kepadaku di saat malam hari, sesuatu yang entah namun hangat, tak berwujud namun terasa, itukah Pardi sesuatu yang kau sebut pelukan tanpa tubuh ?. Kau selalu mampir ke rumahku saat senja, selalu saat  senja, seperti sengaja mengingatkan aku pada suatu hal yang tersembunyi dalam senja, kau dan aku tahu pasti ya Pardi bahwa senja yang cantik sekalipun, selalu berujung pada awan yang kehitaman – hitaman, lalu tenggelam bersamaan  ke dalam lautan yang hitam, artinya, senja sepanjang apapun selalu menawarkan perpisahan yang sendu, lalu apa artinya dari kunjunganmu, kau juga ingin menawarkan perpisahan ? ah aku senang  sekali, jika begitu pagi dan malam ku tidak akan ada lagi yang di penuhi pemberianmu, namun jika kau ingin menawarkan perpisahan, lalu mengapa kau meninggalkan pelukan, apakah pelukan sebagai jaminan ya pardi, masa bodoh aku tetap tidak perduli, sekeras apapun kamu mencintaiku, Pardi aku tidak akan mencintaimu, tentu karena aku takut akan menjadi pecinta yang  tidak tahu diri seperti kamu, jika sudah begitu tak ada bedanya aku dan pensyair yang kehilangan kata  - kata, tahu yang di rasakan, tahu yang di fikirkan, tapi tak punya kata – kata untuk di tuliskan.
Malam tiba, kau bergegas menyimpan sesuatu yang kau keluarkan dari sakumu, di atas meja samping ranjangku, kau bilang anggap itu sebuah vitamin yang ketika ku minum, akan menjaga tubuhku. “ jangan lupa kenakan pelukanku yang ku simpan di atas meja “ pintamu sebelum pulang, setiap malam selalu itu yang ku dengar, kamu seperti seorang Ibu yang resah.
Pardi yang kasihan, Pardi yang merenda harapan, kau tahu bukan, aku tidak mencintaimu, tapi mengapa kamu masih disana, diam di situ - situ saja, sekalipun saat senja dan perpisahannya yang di tawarkan kepada alam, kamu masih diam disitu, mematung . Pardi yang punya cinta tidak tahu diri, kalau aku jadi kamu, sudah jauh mungkin aku pergi.
Pagi hari kita bertemu, wajahmu berseri – seri namun bibirnya putih pasi, kau berdandan dengan senyuman pagi ini. Pardi yang malang, masih saja bisa tertawa padahal hatinya menjerit nelangsa, “ kau pakai pelukanku kan ?, tentu iya, saat menuju kesini, di jalan aku bertemu dengan angin yang murung dan dinginnya yang  terisak, mereka terlihat seperti pecundang, tentu itu karena mereka tidak bisa menyakitimu “,  aku tak menjawab pertanyaan dan tuduhannya, semua yang di katakannya itu benar, semoga saja dia tidak merasa dengan aku mengenakannya, aku telah membuka hati untuknya, sudah kutegaskan kepadanya dan semoga dia tidak lupa bahwa aku tidak mencintainya. Pardi yang datang padaku pagi ini, begitu berseri – seri, namun bibirnya putih pasi.
“ Apa kau tidak mencintai yang lain Pardi ? “.
“ Tak ada yang lain Rani, jika Tuhan sudah mempersiapkan satu dan hanya satulah yang akan aku cintai “.
“ Pardi bodoh, kau tahu bukan aku tidak mencintaimu, cinta yang darimu menghujaniku, sampai padaku hanya deras beban yang menghantui ruang kepalaku, kau fikir sedikitlah, aku juga manusia, aku juga punya hati, melihat kau menunggu sia – sia juga membuat aku iba, mau ku hentikan kamu keras kepala, itu sebabnya Pardi aku baik padamu “, lidahku mengasah kuku kata menjadi runcing, bertebaran di sekat  - sekat jantungnya, menyelinap ke seluruh rongga, dan tepat di hatinya, kata menggores luka.
“ Rani yang menggebu – gebu, Rani yang perduli, aku mencintaimu memang adalah kebenaran, tapi memilikimu bukanlah keinginan, engkau hanyalah suatu hal dari Tuhan yang harus ku jaga, tidak di cintaimu hanyalah aneka dari ujian yang harus aku lalui, sekalipun kamu menghentikanku, aku tetaplah aku yang akan selalu mencintaimu, seperti sebuah jam, kau bandul yang akulah detaknya, dan angka – angka adalah doa – doa yang mengelilingimu ”.
“ Kau mau jatuh sedalam apa lagi Pardi, kau bisa berhenti jika kamu mau, Tuhan pun pasti mengerti Pardi “.
“ Rani yang manis, Rani yang ku cintai, jika  cintaku pepohonan yang  gundul dan kering di atas jurang, dan aku adalah daun kering yang tersisa, takdir daun adalah kering,  jatuh, kemudian mati,  maka aku hanya rela jatuh jika itu karena embunmu, engkau adalah pagi yang ku tunggu – tunggu sepanjang malam yang membeku “. Kata – kata nya membuatku berhenti bertanya, aku seperti gelas utuh yang  kemudian pecah, wajahnya, suaranya, seketika memenuhi semesta.
Pardi yang tidak tahu diri, begitu yakin dengan cintanya yang menggebu – gebu, keyakinannya seperti sejati, padahal dia tahu di dunia yang  serba kecil ini mustahil ada yang sejati, apa dia tidak berfikir panjang, bahwa apa yang  telah di berikannya akan melukaiku suatu saat nanti. “ Rani yang manis, Rani yang perduli, aku ingin memenangkanmu karena pernah meneteskan air mata, sekalipun bukan memenangkan hatimu, setidaknya aku menjadi pemenang, sebagai satu – satu nya hal yang memenuhi ruang kepalamu, sekalipun hanya penuh iba kepadaku “ kata – kata ia sambungkan, lengkap sudah, genap bebanku berjuta – juta , Tuhan ternyata menciptakan juga orang seperti Pardi, orang yang begitu menggilai cintanya sendiri.
Bertahun – tahun, hujan cintanya Pardi terus deras, cinta Pardi yang deras ini, mendobrak tanggul hati yang  telah ku jaga, Pardi yang kasihan kini memenangkan segalanya,  sampai pada bencana, tepatnya saat matahari mengusir rintik – rintik dalam semesta hati Pardi, hujan yang deras kini adalah tetesan yang hampir kering, Pardi yang selama ini berawan mendung, menggilai pagi hari, dan resah di saat malam, Pardi yang terus membuat hujan kini punya matahari, matahari datang selambat  anak kura – kura, aku masih punya waktu untuk terus membuat Pardi semendung malam, dan hujannya terus deras membasahiku, tapi melihat Pardi begitu aku iba, di saat pagi hari ia datang  padaku membawa sarapan, sementara hatinya kelaparan, di malam hari ia datang membawa pelukan untukku, di sakunya yang penuh pelukan itu, Pardi memilih kedinginan dan memeluk hatinya sendiri,  Pardi yang hanya daun kering di atas jurang telah jatuh karenaku, di dalam jurang yang pekat dan gelap itu, matahari menemukannya, bagaimana aku tahu di dalam jurang ada matahari, sementara di sini hujan tak pernah berhenti karena Pardi, Pardi membuat aku percaya bahwa derasnya hanyalah milikku. Matahari yang jalannya lambat, merangkak, pastilah sampai pada tujuan, dia akan mengeringkan hujan di hati Pardi, Pardi yang hatinya nelangsa kini mungkin bersuka cita, karena mungkin matahari membuatnya juga merasa bahwa pelukan itu hangat, Pardi yang tidak pernah di peluk itu, sekalipun menundukkan dingin, pastilah ingin merasakan hangat juga bukan, Pardi yang kasihan, ini lah yang  aku takutkan.
Beberapa tetes hujan di hati Pardi yang tersisa sudah dapat ku hitung, waktunya hanya selingkar banyak angka jam. Pardi, mungkin aku telah menjadi bodoh karena cintamu, aku yang tegas tidak mencintaimu, kini hanya menerka – nerka bagaimana bisa kedududkanmu kini adalah aku, Pardi, mungkin terlambat jika aku baru memulai mempercayaimu, menerimamu, tapi jika aku tidak merasa kau akan terenggut, hatiku tidak akan terbuka. Aku kini membuat hujan, memang barulah rintik – rintik, namun pasti menderas, aku membuat hujan yang biasa – biasa saja, emang tidak sehebat kamu Pardi, tapi itu tulus untukmu, namun hanya begitu saja sudah membuatku nelangsa, mungkin jika aku adalah daun, tak perlu menunggu embun, sudah mati dan terjatuh lebih dulu, aku tak sehebat kamu Pardi.
Aku ini tegas memang, namun tegas tidaklah selalu benar dan selamat pada apapun, bisa saja tegas juga membuat aku sampai pada kehancuran, aku menyesal pernah terus mengingatkanmu bahwa aku tidak mencintaimu, sementara cintamu terus deras menghujaniku, sekarang Pardi saat semuanya sudah terbalik, apa yang  tetap kau ingat hanya “ aku tidak mencintaimu “.
Matahari merangkak dengan pasti, hampir sampai padamu Pardi. Di malam hari kau datang padaku dengan biasanya memberi pelukan tanpa tubuh, di saku bajumu yang biasa kulihat penuh, kini kosong melompong, “ pelukan yang kau berikan padaku malam ini adalah pelukan terakhir yang kau punya kan Pardi ? “ aku bertanya, dengan nada yang tertahan, bagaimana bisa aku yang tegas tidak mencintainya, bisa meraskan sesak juga.
“ tidak Rani, akan ku buatkan lagi pelukan – pelukan untuk menjagamu, hanya saja kini aku sedikit membeku “
“ Pardi, senja di langit tadi mencari – cari kamu, kamu sudah tidak lagi disana bukan ? kau bergegas pergi kemana “
“ . . . “ dia hanya diam, wajahnya resah, air mata tertahan di kelopak matanya, air mata yang membuat matanya berbinar.
“ Rani, ada yang mencintaiku, menawarkan kebahagian, tapi untukku hal yang paling membahagiakan adalah mencintaimu, aku tidak ingin bolos dari derita yang mengujiku, tapi ujian tetaplah ujian yang akan terus melahirkan duka yang beranak – pinak, meski pada akhirnya memenangkan bahagia, namun sekeras apapun aku mencintaimu  Rani, dalam hatiku sesungguhnya merindukan pelukan, melupakanmu adalah hal yang mustahil Rani, sebab itu kau adalah hiasan yang penuh di ruang kepalaku, namun  izinkan aku . . .“, kata –katanya belum selesai, aku memotongnya, itu karena aku tahu apa yang akan ia lontarkan, ia ingin meninggalkanku untuk menjaga bahagia.
“ dan itu sebabnya, ku lihat senja di matamu Pardi, senja yang merah keemas – emasan, senja yang menawarkan perpisahan “
Barulah kuraskan air mataku mengalir, membasahi pipiku dan hati yang kering, jika dulu cinta yang deras dari Pardi membuat aku sesak, sekarang aku tenggelam dalam air mataku sendiri.
“ Rani yang ku cintai, kau selalu pemilik singgasana di hatiku, kau ratu segala hari, kau embun yang menyegarkan walau membuat  aku terjatuh, kau akan tetap engkau pemilik kuasa hatiku, siapapun, sekalipun datang padaku seseorang yang mencintaiku sedemikian rupa, air mataku akan tetap mengalir untukmu, dan karenamu Rani “.
“ Pardi yang bodoh, Pardi yang malang, sekarang kau tahu bukan, bahwa dicintai itu adalah keberuntungan, kekuatan yang bisa mengalahkan apa saja, perlindungan yang menundukkan luka, Pardi itu sebabnya aku tidak ingin kehilangan kamu. Tapi baiklah, pergilah menujunya, ketempat dimana kau bisa menemukan pelukan, meretakkan bekumu yang sekarat,  kau orang baik Pardi, Tuhan pun tak tega membuat kamu terus mencintai, itu sebabnya Tuhan menghadirkannya untuk mencintaimu, Pardi ku izinkan kau untuk bahagia  “. Mengeluarkan kata – kata itu seperti mengundang bencana untuk melenyapkan semesta, kiamat kecil yang menghancurkan kehidupan, Pardi yang bodoh, ia terbiasa menunggu saat senja, namun sekarang mengapa dia begitu tergesa – gesa ingin bahagia, dan tidak bisa menungguku untuk membahagiakannya, aku sedang mencintainya, perlu proses untuk menjadi hebat sepertinya, aku bukan pecinta yang bodoh seperti dia, karena dulu aku pernah tegas tidak mencintainya, dan menerimanya bukan sesuatu yang mudah, tapi biar begitu aku ingin mencoba mencintainya tulus hanya untuknya, Pardi tidak mengerti itu,  karena Pardi bodoh yang menggilai cintanya sendiri.
Air mata kita tertahan malam itu, menderas di hati masing – masing, aku ingin memeluknya, namun tak kuasa, Pardi yang sudah menemukan pelukan terhangat, pastilah tak lagi kedinginan, di bandingkan pelukanku yang masih sesekali membawa dingin. Ku simpan pelukan terakhir dari pardi, ku simpan di laci meja, di atas ranjang yang di hinggapi dingin dan membuat ku menggigil, di saat angin riak tertawa, menderu – deru di seluas kulitku, aku memeluk sendiri hatiku.
Hujan yang dulu deras dari Pardi kini tinggallah jejak, semoga Pardi tidak lupa bahwa ia pernah sangat bahagia membuat hujan itu, walau di hatinya nelangsa. Pardi yang malam ini hanyalah sisa bayangan yang hitam kemudian hilang, dari kepergiannya meninggalkan sesak dan duka, seisi kamar kini hanyalah sepi yang menggantung menghias, tak ada Pardi yang datang di pagi dan malam hari, tak juga yang menunggu saat senja, Pardi mungkin tengah resah memilih terus menghujaniku dengan cinta dan nelangsa, atau bergegas mengikuti matahari, namun  apapun itu ia akan sampai pada bahagia.
Tak ada lagi Pardi, dimana rimbanya pun aku tak tahu, Pardi menghilang tanpa kata – kata  selamat tinggal, Pardi yang sudah bahagia mungkin sedang terlena menikmati pelukan.

Pardi.
Jika kau membaca surat ini mungkin aku sudah jatuh kedalam jurang yang kau pernah disana, di sini sunyi, pekat, gelap dan sepi ya Pardi, ternyata disini kita dapat mendengar suara – suara dalam hati, telingaku kini tuli Pardi, suara – suara hati telah memecahkan gendang telingaku, sekarang aku mengerti Pardi, kau begitu kesedihan, kau begitu kesunyian, sepanjang mencintaiku, yang kau perjuangkan hanya terbalas oleh kehampaan, Pardi yang sedang bahagia, ya boleh kan ku hakimi kau demikian, sebab bertahun – tahun lamanya kau tak lagi datang padaku. Pardi pelukan terakhir yang kau berikan tak ku pakai, aku memilihnya untuk  mewakilimu menemaniku, karena itu, Pardi,  angin dan dingin berhasil membekukanku, aku tak sehebat  kamu yang bisa bertahan Pardi, memeluk hati sendiri sebuah kesengsaraan, kini aku bandul jam yang kehilangan detaknya.  Aku meninggalkan seisi kamar yang masih memelihara hangat pelukanmu, merdu suaramu, yang sesekali merobek – robek hatiku, aku tak mau Pardi jika adegan – adegan itu merobek pula ingatanku, aku ingin terus mengingatmu sepanjang hayat sebagai satu – satu nya perlambang bahwa aku pernah sangat bahagia karena di cintaimu. Pardi aku kini sekarat, tinggal menepi di bawah jurang yang penuh dengan kesunyian, dengan pelukan terakhir darimu yang selalu ku bawa – bawa, pelukan yang ku sematkan sebagai sejarah yang di tinggalkan masa itu,  aku kedinginan Pardi, tapi aku tetap tak ingin mengenakannya, aku tak ingin bergegas kemanapun, sekalipun berjuta – juta matahari mengangkatku dari kegelapan, aku memilih menemani sejarah, merayakan penyesalan dengan begitu khidmat. Aku dan kau sama – sama tahu ya Pardi, bahwa di dunia yang serba kecil ini mustahil ada yang sejati, namun aku menemukannya Pardi, sesuatu yang sejati adalah ingatan yang di buku kan dalam sebuah pelukan dan adegan – adegan yang di tinggalkan.  Jika aku sudah mati, dan kau menemukan bangkaiku yang tengah menggenggam pelukanmu, aku harap itu akan mengingatkanmu bahwa kau pernah luar biasa mencintaiku. Pardi yang bodoh, aku ingin kau lupa bahwa aku tidak mencintaimu.
Ku masukkan surat ku kedalam botol kaca, ku tepikan di pinggir laut, ku lihat botol berisi surat itu terombang  ambing di punggung ombak, kemanapun lautan membawanya, siapapun yang membacanya, akan menjadi saksi bahwa aku, Rani, sudah mencintai Pardi.



Bogor, 9 Maret 2014

Untuk kha risman yang sudah menemukan pelukan.