Kamis, 06 November 2014

Cium aku sekali lagi

Cium aku sekali lagi


“ Seperti kata Sapardi : yang fana adalah waktu, kita abadi. Bagiku yang fana adalah kita, ciuman abadi “.



                Di sebuah kamar yang kesepian, kami berciuman, bibirnya menyentuh bibirku, memagut-magut bibir atas kemudian bibir bawahku, tapi aku masih terdiam, tak membalas. Hingga sampai pada tiga menit kemudian, hingga sampai debar di jantungku kembali normal, aku membuka perlahan bibirku, memberi jalan agar lidahnya masuk dan menemukan lidahku. Kami kembali berciuman, saling memagut  dan menarik, seolah tak ingin terlepaskan. Kami berciuman lama sekali, tak menghiraukan apa-apa, tak malu pada cicak yang terus memperhatikan kami dari atas langit-langit, tak malu pada gorden, pada jendela, pada meja, pada kursi, pada rak buku, dan segala apapun yang  ada di kamar ini. Kami terus berciuman, semakin lama, semakin menjadi-jadi, hingga cahaya lampu kamar menjadi sekejap gelap sekejap terang. Tangannya menggenggam penuh wajahku, sesekali melingkar di leherku. Kami terus berciuman sambil berpelukan sampai larut malam.

                Selepas hari itu kami semakin intim bertemu, merencanakan banyak ciuman,  sepertinya masa depan kami adalah sebuah ciuman, segala-galanya tentang ciuman, tidak ada yang lain, tidak membicarakan soal hati, atau tentang bagaimana perasaan kami masing-masing, awal perkenalan pun hanya tentang ciuman, bukan siapa namamu atau berapa usiamu, melainkan kami saling memuji kepiawain  soal berciuman. Bagiku dia adalah pencium  terbaik, bibirnya manis , rasanya seperti mengulum sebuah kembang gula yang lembut dan legit, setiap kali berciuman dengannya, aku merasa seperti bejalan-jalan menuju sebuah dunia yang tak satu orang pun tahu.

                Kami terus kembali berciuman, satu hari, seminggu, sebulan, kami terus merencanakan sebuah ciuman yang panjang, ciuman yang takan pernah selesai, kami begitu saling mengenal, bukan soal nama atau siapa kami, melainkan tentang sebuah ciuman. Tak ada yang kami kenali dari masing-masing selain dari ciuman yang begitu tiba-tiba dan tergesa-gesa. Kami terus berciuman, pagi, malam, subuh, kami akan selalu terus berciuman.

                Suatu hari, ketika dia yang entah siapa namanya tak menghubungiku, aku cemas, aku dahaga, ingin minum dari mulutnya, ingin berciuman, aku kesepian, kedinginan. Sampai pada suatu malam yang gerimis, seseorang mengetuk pintu, ia datang dengan baju yang basah, rambut  lepek, dan mata yang sendu, aku meraihnya, memberikan handuk, memandangnya sejenak, matanya sendu dan berat, ia seperti menahan sesuatu.

“  Ada apa ? mengapa datang  tiba-tiba, kau lupa menyimapan nomorku ? pantas saja, beberapa hari ini aku menunggu kabarmu, kau tak seperti biasanya “, tanyaku.
“ Apa kau tahu namaku ? “. Tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku.
“ Maksudmu ? mengapa kau tiba-tiba bertanya demikian ? “ tanyaku terheran-heran.
“ Aku tak datang berahari-hari, bukan karena kehilangan nomormu, hanya saja aku sedang berfikir tentang kita, menurutmu apa pantas  dua orang yang tak saling mengenal, berciuman seperti dua orang yang saling mengenal ? “.
“ .... “, aku terkejut, jantungku berdegup semakin cepat, sepeti di pukul sesuatu yang tak berjeda, aku tak membalasnya, menunggu ia mengucapkan beberapa kalimat lagi, menunggu ia menjelaskan maksud dari pertanyaannya. Tapi ia juga terdiam, kepalanya menunduk, terus menatap ke bawah, entah menatap kakinya sendiri atau lantai, ia mengela nafas dengan berat, matanya terpejam.  Kami sama-sama terdiam begitu lama.

“ Aku mencintaimu “. Ucapnya memecah kesunyian. Ucapannya membuat dadaku semakin sesak, aku ingin menangis, aku ingin tertawa, dan aku ingin menghilang, ke mana saja, asal tak bertemu dengannya, sebab aku tak tahu harus bagaimana.
 “ kamu apa....? maksudmu ? “.
“ Aku mencintaimu, sebab itu beberapa hari ini aku memilih untuk tidak bertemu kamu, akupun terkejut,  kupikir ini hanya perasaan sesaat, tapi tidak bertemu kamu membuat ku sakit, membuat dadaku sesak, aku rindu kamu, ini hal yang gila ! sebab seseorang sedang mencintaiku dengan giatnya, seseorang sedang merindukanku dengan khusuk, aku sudah punya kekasih tapi aku ingin mencium kamu berkali-kali, aku ingin mencium kamu tanpa selesai, tapi dengan perasaan, aku ingin mencium perasaanmu, memagut dan menariknya. Aku menyesal membuang-buang waktu dengan tidak bertemu kamu, kupikir aku bisa melupakanmu, tapi sesuatu di dalam hatiku berontak, aku takut kehilanganmu ! Aku ingin mencium kamu sekali lagi dengan perasaan “. Jelasnya.

Aku masih terdiam, seolah tak menyangka, bagaimana bisa sesuatu yang aku pikir tidak mungkin adalah sesuatu yang mungkin, aku mencintainya juga, sejak pertama kali kami berciuman, aku mencintainya juga, sebab itu, aku terus menciumnya. Tapi mendengar ucapannya membuat aku terluka, rasanya seperti dijatuhkan dari atas langit ke bumi, rasanya seperti di kunci di sebuah ruang kosong, sepi, dan gelap, tidak boleh keluar tapi tak sekalipun ditemani, segala kehilangan dan ketakutan ku rahasiakan sendiri.

“ Bagaimana jika aku mencintaimu juga ? “.
“ Ya, aku senang, sangat senang, setidaknya hatiku tak bertepuk sebelah tangan, aku juga senang, begitu senang, mengetahui bahwa selama kita berciuman, yang ku cium bukan hanya bibirmu, tapi hatimu juga, apa kau mencintaiku sebagaimana aku ? “.

“ Mencintaimu ? Sudah ku lakukan, sejak pertama kali kita saling berciuman, kau begitu tergesa-gesa menciumku, hingga sesuatu yang tumbuh di tempat lain tak kau sadari, aku menciummu berkali-kali, tapi tak pernah sampai pada bibir hatimu. Aku sudah mencintaimu sebelum bertemu, dan lebih mencintaimu sesudah bertemu “, jawabku.
            
Ia memelukku, sangat erat seperti tak ingin sesuatu terlepas, begitu juga aku, aku memeluknya begitu erat, sangat erat, seperti seorang kanak menggenggam kembang gula demi tak dipinta seseorang, kami saling terdiam dalam pelukan yang saling erat, begitu lama, sampai larut malam. Matanya sendu, merah, sesuatu yang tertahan belum juga ia tumpahkan, sementara mataku sudah menjelma semesta dengan gerimis yang abadi di dalamnya.

“ Aku bahagia, sangat bahagia, ternyata hati kita sudah saling  mengenali,  sudah saling berciuman. Maafkan aku, tak seharusnya aku mengatakan bahwa aku mencintaimu sementara aku tak memiliki kesiapan memilikimu, semestinya aku biarkan saja kau terus bertanya-tanya tentang perasaanku, biar tak ku lukai hatimu yang begitu sangat ingin ku rengkuh, tapi aku ingin kamu juga tahu, biar terus mengingat bahwa aku juga merindukanmu, aku kehilangan jika kau tak ada. Aku mencintaimu, sunggu ini kesalahanku “. Ucapnya, kali ini matanya yang sendu menjatuhkan gerimis, mengalir menuju pipinya, kemudian jatuh di bibirnya.

“Bukan salahmu, bukan juga salah cinta. Aku tak menyesal mencintaimu meskipun pada akhirnya tak ada satu pun darimu yang dapat aku miliki, aku mencintaimu tulus, tanpa tahu dari mana atau kapan atau mengapa, aku mencintaimu begitu saja, tidak tergesa-gesa, aku mencintaimu dengan tegas, aku mencintaimu dengan sebenar-benarnya, tanpa pemahaman, tanpa teori tanpa sebuah pelajaran, aku mencintaimu, bukan pula karena sudah menciummu berkali-kali, aku mencintaimu dengan sederhana, yaitu begitu merasa bahagia berada di sampingmu, meski tak melalukan hal yang besar. Aku mencintaimu, tak apa jika tak bisa memilikimu, ku rasa dengan mengetahui hatimu juga ku cium, dan kau mencintaiku karenanya, sudah cukup bagiku, tak ada yang ku harapkan lagi. Demi bisa melihatmu, atau bericuman seperti biasanya, aku tak meski memilikimu kan ? seperti halnya tak perlu mengetahui namamu, usiamu, bintangmu, atau apapun demi menciummu kan ? kita akan terus berciuman tanpa selesai. “.

“  Aku takut kehilanganmu, aku takut tak lagi dapat mencium kamu, aku takut seseorang teluka karenanya “. Ucapnya, seketika membuat dadaku seperti dilubangi, menghilangkan semua udara, aku tak bisa bernafas seketika, seperti pertama kali dia menciumku.

“ Dalam cinta, kau harus berani terluka dan melukai. Aku terima segala keputusanmu, entah jika kelak kau memilih melukai atau terluka, aku tak pernah merasa paling benar mencintaimu, sebab selama ini yang ku kenali adalah bibirmu, tidak dengan segala hal tentangmu, aku tak tahu apa yang kau sukai dan kau benci, bahkan namamu saja aku tak tahu. Tentu jika kau memilih melukaiku, kau tak akan merasa begitu bersalah. Lukailah jika harus melukaiku, kau mungkin tengah tersesat hingga sampai padaku, sedang  aku tidak demikian, segala tentangmu adalah ibukota yang ingin aku tuju, biarkan dengan sengaja aku tersesat di sana dan lupa cara kembali, sebab kau adalah satu-satunya semesta yang bagiku indah. kau tak sebena-benarnya jatuh cinta kepadaku. Maaf jika aku harus menghakimi kau demikian, aku melihatnya dari matamu, ada sesuatu yang tak rela kau lepaskan, mungkin seseorang yang sedang mencintaimu dengan giat. Jika kau benar mencintaiku, kau takan takut jika tak dapat lagi menciumku “.

Dia hanya terdiam mendengar ucapanku, entah apa yang coba dicerna kepalanya, ia menatapku terus dan terus, tatapannya sendu seperti biasa.

“ Kau benar, cinta soal melukai atau terluka, aku mencintaimu, bukan sekedar jatuh cinta, tapi tak sampai hati jika harus meninggalkannya, aku tak bisa begitu saja melukai hatinya, sedang dia begitu terlihat bahagia hanya dengan mencintaiku saja. Izinkan aku sejenak menghilang, biar aku tahu, seberapa nyeri kehilangan melukaiku, aku ingin tahu, siapa sebenarnya yang abadi di hatiku “.

“ Menghilanglah jika harus, itu tak akan mengubah apapun di dalamku, seperti halnya seseorang yang hanya dengan mencintaimu saja sudah bahagia, aku pun. Pergilah jika harus, tak usah cemas melukaiku, percayalah aku pandai merawat luka, sesekali maafkan jika aku harus menangis, sebab itu adalah satu-satunya cara terakhir saat tak ada lagi yang dapat aku lakukan ketika rindu “.

Ia menggenggam tanganku begitu erat, seperti tak ingin melepaskan atau tak ingin membuang-buang waktu terakhir, entahlah, yang pasti saat ini tak dapat ku jelaskan hatiku seperti apa. Sebenarnya tak ada satupun orang yang siap menerima kehilangan, tapi aku mampu meski memulainya dengan kepura-puraan, sampai akhirnya aku menyadari bahwa, tak ada satupun darinya yang ku miliki, maka Tuhan sekalipun tak dapat membuatku merasa kehilangan. Dengan tidak memilikinya aku telah memiliki dia selamanya.

Kami kembali berciuman, tidak tergesa-gesa, lidahnya memagut  lidahku, menarik tapi tak terlalu tertarik, biasa saja, sewajarnya, bibirnya tak semanis yang aku tahu,  kali ini rasanya seperti menyesap air laut yang asin, bibirnya yang manis sudah seaisin lautan. Kami terus berciuman sesekali berpelukan erat, lebih erat, seperti tak ingin ada sesuatu yang dilepaskan atau tak ingin membuang-buang waktu terakhir. Ia mencium kening, pipi dan bibirku berkali-kali sampai larut malam.

“ Boleh ku minta sesuatu darimu ? sebelum akhirnya tak ada satupun yang dapat  kupinta darimu ? “. Tanyanya, aku tak menjawab, hanya menggangguk pertanda mengizinkan.

“ Aku mohon, cintai dan rindukan aku sewajarnya, kelak pada akhirnya kita akan sendiri-diri , kehilangan itu pasti kan katamu ? aku tak ingin terus melukaimu karena kau mencintaiku, sebab aku tak ada di sampingmu, jangan membuatku takut, jika sewaktu-waktu yang menghapus air matamu bukan aku, selama aku menghilang, kita bertemu di satu titik yang sama : doa “. Ucapnya seraya bangkit dari kusri dan merapihkan pakaiannya sebelum pulang atau mungkin pergi entah ke mana dan sampai kapan.

“ Baiklah, akan ku lakukan yang kau pinta, namun maafkan aku jika kelak aku akan terus mencintaimu seperti orang gila, dan merindukanmu tak kenal waktu, segala sesuatu yang melukaiku biar aku rawat sendiri, terimakasih sudah menciumku bekali-kali, bibirmu akan selalu menjadi cawan minumku, dan tak ada yang ku kenali lagi darimu selain itu. Di mana pun kamu, setiap doa yang ku kirimkan, akan menjaga ingatanmu yang pendek, jangan lupakan aku, aku akan luka karenanya “.

Dia hanya tersenyum, seolah tahu apa yang harus di pahami dan di ucapkan atau ia tahu bahwa pecakapan ini takan selesai jika ia tak bergegas pergi, ia paham siapapun akan terus berjuang demi tak merasa kehilangan. Biar begitu, aku percaya aku tak merasa terluka dan kehilangan sendirian. Ia berjalan menuju pintu dan aku mengikutinya dari belakang.

“ Tunggu.. “. Kataku, begitu saja.
“ Cium aku sekali lagi “, pintaku.

Kami berciuman sekali lagi, lama sekali, ciuman yang tak akan pernah selesai.

“ aku luna “.
“ Seno J “.


Seno tak pernah kembali....
Sedang aku terus mencintainya.....
Seno  yang tak pernah kembali, tak pernah tahu.



2014
Untuk seseorang yang lupa kembali