Cium aku sekali
lagi
“ Seperti kata Sapardi : yang fana adalah waktu,
kita abadi. Bagiku yang fana adalah kita, ciuman abadi “.
Di sebuah kamar yang kesepian,
kami berciuman, bibirnya menyentuh bibirku, memagut-magut bibir atas kemudian
bibir bawahku, tapi aku masih terdiam, tak membalas. Hingga sampai pada tiga
menit kemudian, hingga sampai debar di jantungku kembali normal, aku membuka
perlahan bibirku, memberi jalan agar lidahnya masuk dan menemukan lidahku. Kami
kembali berciuman, saling memagut dan
menarik, seolah tak ingin terlepaskan. Kami berciuman lama sekali, tak
menghiraukan apa-apa, tak malu pada cicak yang terus memperhatikan kami dari
atas langit-langit, tak malu pada gorden, pada jendela, pada meja, pada kursi,
pada rak buku, dan segala apapun yang ada
di kamar ini. Kami terus berciuman, semakin lama, semakin menjadi-jadi, hingga
cahaya lampu kamar menjadi sekejap gelap sekejap terang. Tangannya menggenggam
penuh wajahku, sesekali melingkar di leherku. Kami terus berciuman sambil
berpelukan sampai larut malam.
Selepas hari itu kami semakin
intim bertemu, merencanakan banyak ciuman,
sepertinya masa depan kami adalah sebuah ciuman, segala-galanya tentang
ciuman, tidak ada yang lain, tidak membicarakan soal hati, atau tentang
bagaimana perasaan kami masing-masing, awal perkenalan pun hanya tentang
ciuman, bukan siapa namamu atau berapa usiamu, melainkan kami saling memuji
kepiawain soal berciuman. Bagiku dia
adalah pencium terbaik, bibirnya manis ,
rasanya seperti mengulum sebuah kembang gula yang lembut dan legit, setiap kali
berciuman dengannya, aku merasa seperti bejalan-jalan menuju sebuah dunia yang
tak satu orang pun tahu.
Kami terus kembali berciuman, satu
hari, seminggu, sebulan, kami terus merencanakan sebuah ciuman yang panjang,
ciuman yang takan pernah selesai, kami begitu saling mengenal, bukan soal nama
atau siapa kami, melainkan tentang sebuah ciuman. Tak ada yang kami kenali dari
masing-masing selain dari ciuman yang begitu tiba-tiba dan tergesa-gesa. Kami
terus berciuman, pagi, malam, subuh, kami akan selalu terus berciuman.
Suatu hari, ketika dia yang entah
siapa namanya tak menghubungiku, aku cemas, aku dahaga, ingin minum dari
mulutnya, ingin berciuman, aku kesepian, kedinginan. Sampai pada suatu malam
yang gerimis, seseorang mengetuk pintu, ia datang dengan baju yang basah,
rambut lepek, dan mata yang sendu, aku
meraihnya, memberikan handuk, memandangnya sejenak, matanya sendu dan berat, ia
seperti menahan sesuatu.
“ Ada
apa ? mengapa datang tiba-tiba, kau lupa
menyimapan nomorku ? pantas saja, beberapa hari ini aku menunggu kabarmu, kau
tak seperti biasanya “, tanyaku.
“ Apa kau
tahu namaku ? “. Tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku.
“ Maksudmu
? mengapa kau tiba-tiba bertanya demikian ? “ tanyaku terheran-heran.
“ Aku tak
datang berahari-hari, bukan karena kehilangan nomormu, hanya saja aku sedang berfikir
tentang kita, menurutmu apa pantas dua
orang yang tak saling mengenal, berciuman seperti dua orang yang saling
mengenal ? “.
“ .... “,
aku terkejut, jantungku berdegup semakin cepat, sepeti di pukul sesuatu yang
tak berjeda, aku tak membalasnya, menunggu ia mengucapkan beberapa kalimat
lagi, menunggu ia menjelaskan maksud dari pertanyaannya. Tapi ia juga terdiam,
kepalanya menunduk, terus menatap ke bawah, entah menatap kakinya sendiri atau
lantai, ia mengela nafas dengan berat, matanya terpejam. Kami sama-sama terdiam begitu lama.
“ Aku
mencintaimu “. Ucapnya memecah kesunyian. Ucapannya membuat dadaku semakin
sesak, aku ingin menangis, aku ingin tertawa, dan aku ingin menghilang, ke mana
saja, asal tak bertemu dengannya, sebab aku tak tahu harus bagaimana.
“ kamu apa....? maksudmu ? “.
“ Aku
mencintaimu, sebab itu beberapa hari ini aku memilih untuk tidak bertemu kamu,
akupun terkejut, kupikir ini hanya
perasaan sesaat, tapi tidak bertemu kamu membuat ku sakit, membuat dadaku
sesak, aku rindu kamu, ini hal yang gila ! sebab seseorang sedang mencintaiku
dengan giatnya, seseorang sedang merindukanku dengan khusuk, aku sudah punya
kekasih tapi aku ingin mencium kamu berkali-kali, aku ingin mencium kamu tanpa
selesai, tapi dengan perasaan, aku ingin mencium perasaanmu, memagut dan
menariknya. Aku menyesal membuang-buang waktu dengan tidak bertemu kamu,
kupikir aku bisa melupakanmu, tapi sesuatu di dalam hatiku berontak, aku takut
kehilanganmu ! Aku ingin mencium kamu sekali lagi dengan perasaan “. Jelasnya.
Aku masih
terdiam, seolah tak menyangka, bagaimana bisa sesuatu yang aku pikir tidak
mungkin adalah sesuatu yang mungkin, aku mencintainya juga, sejak pertama kali
kami berciuman, aku mencintainya juga, sebab itu, aku terus menciumnya. Tapi
mendengar ucapannya membuat aku terluka, rasanya seperti dijatuhkan dari atas langit ke bumi, rasanya
seperti di kunci di sebuah ruang kosong, sepi,
dan gelap, tidak boleh keluar tapi tak sekalipun ditemani, segala kehilangan
dan ketakutan ku rahasiakan sendiri.
“ Bagaimana
jika aku mencintaimu juga ? “.
“ Ya, aku
senang, sangat senang, setidaknya hatiku tak bertepuk sebelah tangan, aku juga
senang, begitu senang, mengetahui bahwa selama kita berciuman, yang ku cium
bukan hanya bibirmu, tapi hatimu juga, apa kau mencintaiku sebagaimana aku ? “.
“
Mencintaimu ? Sudah ku lakukan, sejak pertama kali kita saling berciuman, kau
begitu tergesa-gesa menciumku, hingga sesuatu yang tumbuh di tempat lain tak
kau sadari, aku menciummu berkali-kali, tapi tak pernah sampai pada bibir
hatimu. Aku sudah mencintaimu sebelum bertemu, dan lebih mencintaimu sesudah
bertemu “, jawabku.
Ia
memelukku, sangat erat seperti tak ingin sesuatu terlepas, begitu juga aku, aku
memeluknya begitu erat, sangat erat, seperti seorang kanak menggenggam kembang
gula demi tak dipinta seseorang, kami saling terdiam dalam pelukan yang saling
erat, begitu lama, sampai larut malam. Matanya sendu, merah, sesuatu yang
tertahan belum juga ia tumpahkan, sementara mataku sudah menjelma semesta
dengan gerimis yang abadi di dalamnya.
“ Aku
bahagia, sangat bahagia, ternyata hati kita sudah saling mengenali,
sudah saling berciuman. Maafkan aku, tak seharusnya aku mengatakan bahwa
aku mencintaimu sementara aku tak memiliki kesiapan memilikimu, semestinya aku
biarkan saja kau terus bertanya-tanya tentang perasaanku, biar tak ku lukai
hatimu yang begitu sangat ingin ku rengkuh, tapi aku ingin kamu juga tahu, biar
terus mengingat bahwa aku juga merindukanmu, aku kehilangan jika kau tak ada.
Aku mencintaimu, sunggu ini kesalahanku “. Ucapnya, kali ini matanya yang sendu
menjatuhkan gerimis, mengalir menuju pipinya, kemudian jatuh di bibirnya.
“Bukan
salahmu, bukan juga salah cinta. Aku tak menyesal mencintaimu meskipun pada
akhirnya tak ada satu pun darimu yang dapat aku miliki, aku mencintaimu tulus,
tanpa tahu dari mana atau kapan atau mengapa, aku mencintaimu begitu saja,
tidak tergesa-gesa, aku mencintaimu dengan tegas, aku mencintaimu dengan
sebenar-benarnya, tanpa pemahaman, tanpa teori tanpa sebuah pelajaran, aku mencintaimu,
bukan pula karena sudah menciummu berkali-kali, aku mencintaimu dengan
sederhana, yaitu begitu merasa bahagia berada di sampingmu, meski tak melalukan
hal yang besar. Aku mencintaimu, tak apa jika tak bisa memilikimu, ku rasa
dengan mengetahui hatimu juga ku cium, dan kau mencintaiku karenanya, sudah
cukup bagiku, tak ada yang ku harapkan lagi. Demi bisa melihatmu, atau
bericuman seperti biasanya, aku tak meski memilikimu kan ? seperti halnya tak
perlu mengetahui namamu, usiamu, bintangmu, atau apapun demi menciummu kan ?
kita akan terus berciuman tanpa selesai. “.
“ Aku takut kehilanganmu, aku takut tak lagi
dapat mencium kamu, aku takut seseorang teluka karenanya “. Ucapnya, seketika
membuat dadaku seperti dilubangi, menghilangkan semua udara, aku tak bisa
bernafas seketika, seperti pertama kali dia menciumku.
“ Dalam
cinta, kau harus berani terluka dan melukai. Aku terima segala keputusanmu,
entah jika kelak kau memilih melukai atau terluka, aku tak pernah merasa paling
benar mencintaimu, sebab selama ini yang ku kenali adalah bibirmu, tidak dengan
segala hal tentangmu, aku tak tahu apa yang kau sukai dan kau benci, bahkan
namamu saja aku tak tahu. Tentu jika kau memilih melukaiku, kau tak akan merasa
begitu bersalah. Lukailah jika harus melukaiku, kau mungkin tengah tersesat
hingga sampai padaku, sedang aku tidak
demikian, segala tentangmu adalah ibukota yang ingin aku tuju, biarkan dengan
sengaja aku tersesat di sana dan lupa cara kembali, sebab kau adalah
satu-satunya semesta yang bagiku indah. kau tak sebena-benarnya jatuh cinta
kepadaku. Maaf jika aku harus menghakimi kau demikian, aku melihatnya dari
matamu, ada sesuatu yang tak rela kau lepaskan, mungkin seseorang yang sedang
mencintaimu dengan giat. Jika kau benar mencintaiku, kau takan takut jika tak
dapat lagi menciumku “.
Dia hanya
terdiam mendengar ucapanku, entah apa yang coba dicerna kepalanya, ia menatapku
terus dan terus, tatapannya sendu seperti biasa.
“ Kau
benar, cinta soal melukai atau terluka, aku mencintaimu, bukan sekedar jatuh
cinta, tapi tak sampai hati jika harus meninggalkannya, aku tak bisa begitu
saja melukai hatinya, sedang dia begitu terlihat bahagia hanya dengan
mencintaiku saja. Izinkan aku sejenak menghilang, biar aku tahu, seberapa nyeri
kehilangan melukaiku, aku ingin tahu, siapa sebenarnya yang abadi di hatiku “.
“
Menghilanglah jika harus, itu tak akan mengubah apapun di dalamku, seperti
halnya seseorang yang hanya dengan mencintaimu saja sudah bahagia, aku pun.
Pergilah jika harus, tak usah cemas melukaiku, percayalah aku pandai merawat
luka, sesekali maafkan jika aku harus menangis, sebab itu adalah satu-satunya
cara terakhir saat tak ada lagi yang dapat aku lakukan ketika rindu “.
Ia menggenggam tanganku begitu erat,
seperti tak ingin melepaskan atau tak ingin membuang-buang waktu terakhir,
entahlah, yang pasti saat ini tak dapat ku jelaskan hatiku seperti apa.
Sebenarnya tak ada satupun orang yang siap menerima kehilangan, tapi aku mampu
meski memulainya dengan kepura-puraan, sampai akhirnya aku menyadari bahwa, tak
ada satupun darinya yang ku miliki, maka Tuhan sekalipun tak dapat membuatku
merasa kehilangan. Dengan tidak memilikinya aku telah memiliki dia selamanya.
Kami kembali berciuman, tidak
tergesa-gesa, lidahnya memagut lidahku,
menarik tapi tak terlalu tertarik, biasa saja, sewajarnya, bibirnya tak semanis
yang aku tahu, kali ini rasanya seperti
menyesap air laut yang asin, bibirnya yang manis sudah seaisin lautan. Kami
terus berciuman sesekali berpelukan erat, lebih erat, seperti tak ingin ada
sesuatu yang dilepaskan atau tak ingin membuang-buang waktu terakhir. Ia
mencium kening, pipi dan bibirku berkali-kali sampai larut malam.
“ Boleh ku
minta sesuatu darimu ? sebelum akhirnya tak ada satupun yang dapat kupinta darimu ? “. Tanyanya, aku tak menjawab,
hanya menggangguk pertanda mengizinkan.
“ Aku
mohon, cintai dan rindukan aku sewajarnya, kelak pada akhirnya kita akan
sendiri-diri , kehilangan itu pasti kan katamu ? aku tak ingin terus melukaimu
karena kau mencintaiku, sebab aku tak ada di sampingmu, jangan membuatku takut,
jika sewaktu-waktu yang menghapus air matamu bukan aku, selama aku menghilang,
kita bertemu di satu titik yang sama : doa “. Ucapnya seraya bangkit dari kusri
dan merapihkan pakaiannya sebelum pulang atau mungkin pergi entah ke mana dan
sampai kapan.
“ Baiklah,
akan ku lakukan yang kau pinta, namun maafkan aku jika kelak aku akan terus
mencintaimu seperti orang gila, dan merindukanmu tak kenal waktu, segala sesuatu
yang melukaiku biar aku rawat sendiri, terimakasih sudah menciumku bekali-kali,
bibirmu akan selalu menjadi cawan minumku, dan tak ada yang ku kenali lagi darimu
selain itu. Di mana pun kamu, setiap doa yang ku kirimkan, akan menjaga ingatanmu
yang pendek, jangan lupakan aku, aku akan luka karenanya “.
Dia hanya tersenyum, seolah tahu apa yang
harus di pahami dan di ucapkan atau ia tahu bahwa pecakapan ini takan selesai jika
ia tak bergegas pergi, ia paham siapapun akan terus berjuang demi tak merasa kehilangan.
Biar begitu, aku percaya aku tak merasa terluka dan kehilangan sendirian. Ia berjalan
menuju pintu dan aku mengikutinya dari belakang.
“ Tunggu..
“. Kataku, begitu saja.
“ Cium aku
sekali lagi “, pintaku.
Kami berciuman sekali lagi, lama sekali,
ciuman yang tak akan pernah selesai.
“ aku luna
“.
“ Seno J “.
Seno tak pernah kembali....
Sedang aku terus mencintainya.....
Seno yang tak pernah kembali, tak pernah tahu.
2014
Untuk seseorang yang lupa kembali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar