Selasa, 19 Agustus 2014

MERAYAKAN PENYESALAN





“ menemani sejarah adalah caraku merayakan penyesalan “










Sudah kubilang, aku tidak mencintaimu, namun kau masih saja keras kepala, berkali – kali kugantung cintamu di atas  sumbu yang berapi biar terbakar dan menjadi abu, namun kau balas bertubi – tubi dengan cinta yang menghujaniku, cinta yang membuat aku basah kuyup, cintamu yang  tidak tahu diri, membuat  semuanya berantakan.
Di pagi hari, cintamu datang serupa sarapan, kamu membuatnya memang dengan hati, namun sampai di tenggorokkanku hambar, rasa yang tidak enak itu penuh sepenuh – penuhnya, membuat aku sesak, jelas bukan, aku akan merasa begitu, karena aku tidak mencintaimu.
Di malam hari, cinta mu menjelma pelukan – pelukan tanpa tubuh, yang  menggerayangi seisi kamarku,  naik di atas ranjang, dan menyelinap ke dalam bajuku,  angin yang berhembus kecil sampai  menderu – deru sekalipun takut dengan pelukanmu, malam yang dingin dan kelaparan pun tunduk dengan kehangatan yang kau lingkarkan di sekujur tubuhku, cintamu menjagaku dari semua hal yang datang untuk melukai.
Pardi yang  kasihan, Pardi yang merenda harapan, jika aku terlihat baik kepadamu, tentu itu karena aku hanya ingin sekedar membalas kebaikan mu, catat bukan membalas cinta mu. Kau datang kepadaku, di saat senja yang baru ranum memerah keemasan, kuning yang di lipat – lipat  awan, membuat wajah langit  menor mempesona, kau datang dengan mengenakan jaket yang sakunya menggembul sampai membuat kau terlihat seperti badut, saku – saku mu penuh, aku heran apa yang kau selipkan disana Pardi, apakah itu yang selalu kau berikan kepadaku di saat malam hari, sesuatu yang entah namun hangat, tak berwujud namun terasa, itukah Pardi sesuatu yang kau sebut pelukan tanpa tubuh ?. Kau selalu mampir ke rumahku saat senja, selalu saat  senja, seperti sengaja mengingatkan aku pada suatu hal yang tersembunyi dalam senja, kau dan aku tahu pasti ya Pardi bahwa senja yang cantik sekalipun, selalu berujung pada awan yang kehitaman – hitaman, lalu tenggelam bersamaan  ke dalam lautan yang hitam, artinya, senja sepanjang apapun selalu menawarkan perpisahan yang sendu, lalu apa artinya dari kunjunganmu, kau juga ingin menawarkan perpisahan ? ah aku senang  sekali, jika begitu pagi dan malam ku tidak akan ada lagi yang di penuhi pemberianmu, namun jika kau ingin menawarkan perpisahan, lalu mengapa kau meninggalkan pelukan, apakah pelukan sebagai jaminan ya pardi, masa bodoh aku tetap tidak perduli, sekeras apapun kamu mencintaiku, Pardi aku tidak akan mencintaimu, tentu karena aku takut akan menjadi pecinta yang  tidak tahu diri seperti kamu, jika sudah begitu tak ada bedanya aku dan pensyair yang kehilangan kata  - kata, tahu yang di rasakan, tahu yang di fikirkan, tapi tak punya kata – kata untuk di tuliskan.
Malam tiba, kau bergegas menyimpan sesuatu yang kau keluarkan dari sakumu, di atas meja samping ranjangku, kau bilang anggap itu sebuah vitamin yang ketika ku minum, akan menjaga tubuhku. “ jangan lupa kenakan pelukanku yang ku simpan di atas meja “ pintamu sebelum pulang, setiap malam selalu itu yang ku dengar, kamu seperti seorang Ibu yang resah.
Pardi yang kasihan, Pardi yang merenda harapan, kau tahu bukan, aku tidak mencintaimu, tapi mengapa kamu masih disana, diam di situ - situ saja, sekalipun saat senja dan perpisahannya yang di tawarkan kepada alam, kamu masih diam disitu, mematung . Pardi yang punya cinta tidak tahu diri, kalau aku jadi kamu, sudah jauh mungkin aku pergi.
Pagi hari kita bertemu, wajahmu berseri – seri namun bibirnya putih pasi, kau berdandan dengan senyuman pagi ini. Pardi yang malang, masih saja bisa tertawa padahal hatinya menjerit nelangsa, “ kau pakai pelukanku kan ?, tentu iya, saat menuju kesini, di jalan aku bertemu dengan angin yang murung dan dinginnya yang  terisak, mereka terlihat seperti pecundang, tentu itu karena mereka tidak bisa menyakitimu “,  aku tak menjawab pertanyaan dan tuduhannya, semua yang di katakannya itu benar, semoga saja dia tidak merasa dengan aku mengenakannya, aku telah membuka hati untuknya, sudah kutegaskan kepadanya dan semoga dia tidak lupa bahwa aku tidak mencintainya. Pardi yang datang padaku pagi ini, begitu berseri – seri, namun bibirnya putih pasi.
“ Apa kau tidak mencintai yang lain Pardi ? “.
“ Tak ada yang lain Rani, jika Tuhan sudah mempersiapkan satu dan hanya satulah yang akan aku cintai “.
“ Pardi bodoh, kau tahu bukan aku tidak mencintaimu, cinta yang darimu menghujaniku, sampai padaku hanya deras beban yang menghantui ruang kepalaku, kau fikir sedikitlah, aku juga manusia, aku juga punya hati, melihat kau menunggu sia – sia juga membuat aku iba, mau ku hentikan kamu keras kepala, itu sebabnya Pardi aku baik padamu “, lidahku mengasah kuku kata menjadi runcing, bertebaran di sekat  - sekat jantungnya, menyelinap ke seluruh rongga, dan tepat di hatinya, kata menggores luka.
“ Rani yang menggebu – gebu, Rani yang perduli, aku mencintaimu memang adalah kebenaran, tapi memilikimu bukanlah keinginan, engkau hanyalah suatu hal dari Tuhan yang harus ku jaga, tidak di cintaimu hanyalah aneka dari ujian yang harus aku lalui, sekalipun kamu menghentikanku, aku tetaplah aku yang akan selalu mencintaimu, seperti sebuah jam, kau bandul yang akulah detaknya, dan angka – angka adalah doa – doa yang mengelilingimu ”.
“ Kau mau jatuh sedalam apa lagi Pardi, kau bisa berhenti jika kamu mau, Tuhan pun pasti mengerti Pardi “.
“ Rani yang manis, Rani yang ku cintai, jika  cintaku pepohonan yang  gundul dan kering di atas jurang, dan aku adalah daun kering yang tersisa, takdir daun adalah kering,  jatuh, kemudian mati,  maka aku hanya rela jatuh jika itu karena embunmu, engkau adalah pagi yang ku tunggu – tunggu sepanjang malam yang membeku “. Kata – kata nya membuatku berhenti bertanya, aku seperti gelas utuh yang  kemudian pecah, wajahnya, suaranya, seketika memenuhi semesta.
Pardi yang tidak tahu diri, begitu yakin dengan cintanya yang menggebu – gebu, keyakinannya seperti sejati, padahal dia tahu di dunia yang  serba kecil ini mustahil ada yang sejati, apa dia tidak berfikir panjang, bahwa apa yang  telah di berikannya akan melukaiku suatu saat nanti. “ Rani yang manis, Rani yang perduli, aku ingin memenangkanmu karena pernah meneteskan air mata, sekalipun bukan memenangkan hatimu, setidaknya aku menjadi pemenang, sebagai satu – satu nya hal yang memenuhi ruang kepalamu, sekalipun hanya penuh iba kepadaku “ kata – kata ia sambungkan, lengkap sudah, genap bebanku berjuta – juta , Tuhan ternyata menciptakan juga orang seperti Pardi, orang yang begitu menggilai cintanya sendiri.
Bertahun – tahun, hujan cintanya Pardi terus deras, cinta Pardi yang deras ini, mendobrak tanggul hati yang  telah ku jaga, Pardi yang kasihan kini memenangkan segalanya,  sampai pada bencana, tepatnya saat matahari mengusir rintik – rintik dalam semesta hati Pardi, hujan yang deras kini adalah tetesan yang hampir kering, Pardi yang selama ini berawan mendung, menggilai pagi hari, dan resah di saat malam, Pardi yang terus membuat hujan kini punya matahari, matahari datang selambat  anak kura – kura, aku masih punya waktu untuk terus membuat Pardi semendung malam, dan hujannya terus deras membasahiku, tapi melihat Pardi begitu aku iba, di saat pagi hari ia datang  padaku membawa sarapan, sementara hatinya kelaparan, di malam hari ia datang membawa pelukan untukku, di sakunya yang penuh pelukan itu, Pardi memilih kedinginan dan memeluk hatinya sendiri,  Pardi yang hanya daun kering di atas jurang telah jatuh karenaku, di dalam jurang yang pekat dan gelap itu, matahari menemukannya, bagaimana aku tahu di dalam jurang ada matahari, sementara di sini hujan tak pernah berhenti karena Pardi, Pardi membuat aku percaya bahwa derasnya hanyalah milikku. Matahari yang jalannya lambat, merangkak, pastilah sampai pada tujuan, dia akan mengeringkan hujan di hati Pardi, Pardi yang hatinya nelangsa kini mungkin bersuka cita, karena mungkin matahari membuatnya juga merasa bahwa pelukan itu hangat, Pardi yang tidak pernah di peluk itu, sekalipun menundukkan dingin, pastilah ingin merasakan hangat juga bukan, Pardi yang kasihan, ini lah yang  aku takutkan.
Beberapa tetes hujan di hati Pardi yang tersisa sudah dapat ku hitung, waktunya hanya selingkar banyak angka jam. Pardi, mungkin aku telah menjadi bodoh karena cintamu, aku yang tegas tidak mencintaimu, kini hanya menerka – nerka bagaimana bisa kedududkanmu kini adalah aku, Pardi, mungkin terlambat jika aku baru memulai mempercayaimu, menerimamu, tapi jika aku tidak merasa kau akan terenggut, hatiku tidak akan terbuka. Aku kini membuat hujan, memang barulah rintik – rintik, namun pasti menderas, aku membuat hujan yang biasa – biasa saja, emang tidak sehebat kamu Pardi, tapi itu tulus untukmu, namun hanya begitu saja sudah membuatku nelangsa, mungkin jika aku adalah daun, tak perlu menunggu embun, sudah mati dan terjatuh lebih dulu, aku tak sehebat kamu Pardi.
Aku ini tegas memang, namun tegas tidaklah selalu benar dan selamat pada apapun, bisa saja tegas juga membuat aku sampai pada kehancuran, aku menyesal pernah terus mengingatkanmu bahwa aku tidak mencintaimu, sementara cintamu terus deras menghujaniku, sekarang Pardi saat semuanya sudah terbalik, apa yang  tetap kau ingat hanya “ aku tidak mencintaimu “.
Matahari merangkak dengan pasti, hampir sampai padamu Pardi. Di malam hari kau datang padaku dengan biasanya memberi pelukan tanpa tubuh, di saku bajumu yang biasa kulihat penuh, kini kosong melompong, “ pelukan yang kau berikan padaku malam ini adalah pelukan terakhir yang kau punya kan Pardi ? “ aku bertanya, dengan nada yang tertahan, bagaimana bisa aku yang tegas tidak mencintainya, bisa meraskan sesak juga.
“ tidak Rani, akan ku buatkan lagi pelukan – pelukan untuk menjagamu, hanya saja kini aku sedikit membeku “
“ Pardi, senja di langit tadi mencari – cari kamu, kamu sudah tidak lagi disana bukan ? kau bergegas pergi kemana “
“ . . . “ dia hanya diam, wajahnya resah, air mata tertahan di kelopak matanya, air mata yang membuat matanya berbinar.
“ Rani, ada yang mencintaiku, menawarkan kebahagian, tapi untukku hal yang paling membahagiakan adalah mencintaimu, aku tidak ingin bolos dari derita yang mengujiku, tapi ujian tetaplah ujian yang akan terus melahirkan duka yang beranak – pinak, meski pada akhirnya memenangkan bahagia, namun sekeras apapun aku mencintaimu  Rani, dalam hatiku sesungguhnya merindukan pelukan, melupakanmu adalah hal yang mustahil Rani, sebab itu kau adalah hiasan yang penuh di ruang kepalaku, namun  izinkan aku . . .“, kata –katanya belum selesai, aku memotongnya, itu karena aku tahu apa yang akan ia lontarkan, ia ingin meninggalkanku untuk menjaga bahagia.
“ dan itu sebabnya, ku lihat senja di matamu Pardi, senja yang merah keemas – emasan, senja yang menawarkan perpisahan “
Barulah kuraskan air mataku mengalir, membasahi pipiku dan hati yang kering, jika dulu cinta yang deras dari Pardi membuat aku sesak, sekarang aku tenggelam dalam air mataku sendiri.
“ Rani yang ku cintai, kau selalu pemilik singgasana di hatiku, kau ratu segala hari, kau embun yang menyegarkan walau membuat  aku terjatuh, kau akan tetap engkau pemilik kuasa hatiku, siapapun, sekalipun datang padaku seseorang yang mencintaiku sedemikian rupa, air mataku akan tetap mengalir untukmu, dan karenamu Rani “.
“ Pardi yang bodoh, Pardi yang malang, sekarang kau tahu bukan, bahwa dicintai itu adalah keberuntungan, kekuatan yang bisa mengalahkan apa saja, perlindungan yang menundukkan luka, Pardi itu sebabnya aku tidak ingin kehilangan kamu. Tapi baiklah, pergilah menujunya, ketempat dimana kau bisa menemukan pelukan, meretakkan bekumu yang sekarat,  kau orang baik Pardi, Tuhan pun tak tega membuat kamu terus mencintai, itu sebabnya Tuhan menghadirkannya untuk mencintaimu, Pardi ku izinkan kau untuk bahagia  “. Mengeluarkan kata – kata itu seperti mengundang bencana untuk melenyapkan semesta, kiamat kecil yang menghancurkan kehidupan, Pardi yang bodoh, ia terbiasa menunggu saat senja, namun sekarang mengapa dia begitu tergesa – gesa ingin bahagia, dan tidak bisa menungguku untuk membahagiakannya, aku sedang mencintainya, perlu proses untuk menjadi hebat sepertinya, aku bukan pecinta yang bodoh seperti dia, karena dulu aku pernah tegas tidak mencintainya, dan menerimanya bukan sesuatu yang mudah, tapi biar begitu aku ingin mencoba mencintainya tulus hanya untuknya, Pardi tidak mengerti itu,  karena Pardi bodoh yang menggilai cintanya sendiri.
Air mata kita tertahan malam itu, menderas di hati masing – masing, aku ingin memeluknya, namun tak kuasa, Pardi yang sudah menemukan pelukan terhangat, pastilah tak lagi kedinginan, di bandingkan pelukanku yang masih sesekali membawa dingin. Ku simpan pelukan terakhir dari pardi, ku simpan di laci meja, di atas ranjang yang di hinggapi dingin dan membuat ku menggigil, di saat angin riak tertawa, menderu – deru di seluas kulitku, aku memeluk sendiri hatiku.
Hujan yang dulu deras dari Pardi kini tinggallah jejak, semoga Pardi tidak lupa bahwa ia pernah sangat bahagia membuat hujan itu, walau di hatinya nelangsa. Pardi yang malam ini hanyalah sisa bayangan yang hitam kemudian hilang, dari kepergiannya meninggalkan sesak dan duka, seisi kamar kini hanyalah sepi yang menggantung menghias, tak ada Pardi yang datang di pagi dan malam hari, tak juga yang menunggu saat senja, Pardi mungkin tengah resah memilih terus menghujaniku dengan cinta dan nelangsa, atau bergegas mengikuti matahari, namun  apapun itu ia akan sampai pada bahagia.
Tak ada lagi Pardi, dimana rimbanya pun aku tak tahu, Pardi menghilang tanpa kata – kata  selamat tinggal, Pardi yang sudah bahagia mungkin sedang terlena menikmati pelukan.

Pardi.
Jika kau membaca surat ini mungkin aku sudah jatuh kedalam jurang yang kau pernah disana, di sini sunyi, pekat, gelap dan sepi ya Pardi, ternyata disini kita dapat mendengar suara – suara dalam hati, telingaku kini tuli Pardi, suara – suara hati telah memecahkan gendang telingaku, sekarang aku mengerti Pardi, kau begitu kesedihan, kau begitu kesunyian, sepanjang mencintaiku, yang kau perjuangkan hanya terbalas oleh kehampaan, Pardi yang sedang bahagia, ya boleh kan ku hakimi kau demikian, sebab bertahun – tahun lamanya kau tak lagi datang padaku. Pardi pelukan terakhir yang kau berikan tak ku pakai, aku memilihnya untuk  mewakilimu menemaniku, karena itu, Pardi,  angin dan dingin berhasil membekukanku, aku tak sehebat  kamu yang bisa bertahan Pardi, memeluk hati sendiri sebuah kesengsaraan, kini aku bandul jam yang kehilangan detaknya.  Aku meninggalkan seisi kamar yang masih memelihara hangat pelukanmu, merdu suaramu, yang sesekali merobek – robek hatiku, aku tak mau Pardi jika adegan – adegan itu merobek pula ingatanku, aku ingin terus mengingatmu sepanjang hayat sebagai satu – satu nya perlambang bahwa aku pernah sangat bahagia karena di cintaimu. Pardi aku kini sekarat, tinggal menepi di bawah jurang yang penuh dengan kesunyian, dengan pelukan terakhir darimu yang selalu ku bawa – bawa, pelukan yang ku sematkan sebagai sejarah yang di tinggalkan masa itu,  aku kedinginan Pardi, tapi aku tetap tak ingin mengenakannya, aku tak ingin bergegas kemanapun, sekalipun berjuta – juta matahari mengangkatku dari kegelapan, aku memilih menemani sejarah, merayakan penyesalan dengan begitu khidmat. Aku dan kau sama – sama tahu ya Pardi, bahwa di dunia yang serba kecil ini mustahil ada yang sejati, namun aku menemukannya Pardi, sesuatu yang sejati adalah ingatan yang di buku kan dalam sebuah pelukan dan adegan – adegan yang di tinggalkan.  Jika aku sudah mati, dan kau menemukan bangkaiku yang tengah menggenggam pelukanmu, aku harap itu akan mengingatkanmu bahwa kau pernah luar biasa mencintaiku. Pardi yang bodoh, aku ingin kau lupa bahwa aku tidak mencintaimu.
Ku masukkan surat ku kedalam botol kaca, ku tepikan di pinggir laut, ku lihat botol berisi surat itu terombang  ambing di punggung ombak, kemanapun lautan membawanya, siapapun yang membacanya, akan menjadi saksi bahwa aku, Rani, sudah mencintai Pardi.



Bogor, 9 Maret 2014

Untuk kha risman yang sudah menemukan pelukan.

JARAK




Kepada jarak yang menjadikan pelukan tiada, aku dan kamu saling menyimpan lengan di dada, kemudian berdoa.









 Kadar cemburu akan lebih meningkat jika jarak diikut sertakan di antara dua anak manusia yang setiap hari jatuh cinta, di antara pilar langit berbeda, ada yang tak pernah berubah, yaitu rindu yang menggebu – gebu. Sudah setahun lamanya Alan pergi ke Texas untuk melanjutkan study nya, sementara Lusi menetap di indonesia, Alan dan Lusi sudah menjalin hubungan 2 tahun terhitung sebelum Alan pergi ke Texas. Lusi tahu betul apa yang akan terjadi kepadanya jika Alan pergi, selain dari jarangnya kapasitas untuk bertemu, dia pun pasti akan kerepotan mengurus rindunya yang masih menggebu – gebu.
Di pandangnya sebuah foto berbingkai, ada adegan – adegan bisu di mana Alan sedang memeluk dirinya. Pukul dua dini hari, Lusi masih saja tetap menunggu Alan di depan laptop, menunggu panggilan dari sana melalui skype , perbedaaan jam yang cukup menyiksa keduanya, membuat keduanya bersepakat untuk saling mengalah bergiliran terjaga hingga dini hari, sekedar untuk bertemu dan menyapa selamat pagi, selamat siang, atau selamat malam tentunya dengan mengikuti perbedaan waktu, Lusi memang sedikit merasa aneh jika dirinya sudah bersiap tidur kemudian harus mengucapkan selamat pagi untuk Alan, begitupun dengan Alan.
“ selamat pagi sayang “  Lusi menyapa.
“ selama malam sayang, udah mau tidur ya, ngantuk ? “
“ engga ko, aku Cuman ganti pake baju tidur aja, hari ini kuliah ? “
“ ia aku ada kuliah jam 11 nanti ko, kamu tidur ya, nanti kamu sakit “
“ engga ko, tenang aku kuat gakan sakit, mana mungkin aku sakit kalau bergadangnya buat ketemu kamu, toh besok giliran kamu kan yang ngucapin selamat pagi buat aku “
Keduanya saling tersenyum, dengan seragam menyembunyikan kesedihannya masing – masing yang tidak ingin di ketahui, tagan Lusi ia letakkan di layar laptop begitupun dengan Alan, imajinasi mereka membuat semua terasa benar saling bersentuhan, mereka memejamkan kedua matanya, dengan khidmat dengan sesak yang tertahan, mata Lusi sedikit terbuka tak sengaja dan sadar menyergap lengannya, kesadaran memberitahunya bahwa kulit wajah Alan masih jauh, masih tidak terjangkau, imajinasipun tak sanggup meminjamkan ilusinya lebih lama kepada Lusi, sebab imajinasi  yang keibuan tak tega melukai hati  Lusi yang terlanjur menjadi lubang karena di lukai jarak.
Tak ada yang lebih cepat terbangun dari matahari, sekalipun kecepatan embun yang di jatuhkan udara dingin malam hari kepada dedaunan, selain dari doa – doa yang di panjatkan Lusi untuk Alan, yang penuh dengan air mata tertahan dan hati yang penuh harap, Lusi tahu betul apa yang seharusnya ia pinta kepada Tuhan, bukan sebuah pertemuan karena Lusi tahu kapan ia akan bertemu, yang ia pinta hanya Tuhan tak pernah lupa untuk menyampaikan pelukan – pelukan yang ia selipkan di setiap baris doa untuk menjaga Alan.
“ selamat pagi sayang “ suara Alan di ruang maya.
“ selamat malam sayang, udah mau tidur ya ? ngantuk ? “
“ engga ko, aku Cuman ganti pake baju tidur aja, hari ini kuliah ? “
“ ia aku ada kuliah jam 8 nanti ko, kamu tidur ya, nanti kamu sakit “
“ engga ko, tenang aku kuat gakan sakit, mana mungkin aku sakit kalau bergadangnya buat ketemu kamu, toh besok giliran kamu kan yang ngucapin selamat pagi buat aku “
Tak ada luka yang lebih sakit yang di berikan jarak dari pada percakapan yang serupa dejavu, setiap hari begini, Lusi terdiam memandang Alan di ruang maya, hatinya berkecamuk, ada lelah, ada marah, tapi rindu memenangkannya, harus di paksakan menikmati pertemuan singkat yang di luangkan waktu kepadanya untuk sekedar menyampaikan rindu yang tidak mau sedikit memberi jeda untuk Lusi tidak memikirkan Alan sehari saja.
“ kamu seharian kemana aja sayang ? “ lanjut Lusi bertanya.
“ oh tadi pulang kuliah aku hunting bareng temenku, terus abis itu aku makan, sayang kamu jangan lupa sarapan, atau sarapan sambil skype aja “
“ wah asik ya, ia sebentar aku ambil sarapan dulu “
“ kemarin aku yang liatin kamu sarapan, sekarang kamu yang liatin aku sarapan, kapan kita sarapan bareng “
J “ Alan hanya tersenyum, ia tahu tentang keduanya teramat sangat ingin melakukan semua hal bersama – sama tapa jarak ikut serta.
Ada perasaan cemburu yang membakar hati Lusi, ia cemburu kepada teman – teman Alan yang bisa kapan saja bersama Alan, yang bisa melihat Alan, yang bisa menyentuh Alan, yang makan bersama dengan Alan, yang bisa mendengar suara tawa Alan, Lusi rindu semua tentang Alan, kejahilannya, kekonyolannya, kekanak – kanakkannya, ketawanya, marahnya, Lusi rindu, sangat merindukan Alan. Lusi cemburu kepada hujan yang  lebih dulu jatuh di tubuh Alan, menyusup di kulit Alan sampai ke dalam celananya, hujan juga menyentuh bibir Alan sesekali tertelan lidahnya, seharusnya itu adalah milik Lusi, Lusi, hanya Lusi yang boleh jatuh di tubuh Alan, di pelukannya yang  hangat, hanya Lusi yang boleh masuk ke dalam baju dan celana Alan, hanya lusi yang boleh menyentuh bibir Alan sampai menarik – narik lidahnya, hanya Lusi, Alan milik Lusi bukan milik hujan.
Keduanya senang jika datang libur kuliah, itu pertanda bahwa Alan bisa mewujudkan keinginan Lusi, bersama – sama sarapan ketika pagi hari, dan tidur bersama – sama di malam hari, masih di batasi jarak, masih di antara ruang maya, masih harus saling mengalah untuk bergiliran terjaga tapi tetap bersama – sama.
Seharian penuh mereka bersama – sama, laptop tak pernah di matikan Lusi maupun Alan, access internet bersahabat, waktunya mereka bermesraan.
Lusi dan Alan tidur bersama, saling mengucapkan kata – kata yang mesra, memejamkan mata dan mempersilahkan imajinasi menuntun lengan masing – masing untuk bersentuhan. Ada perasaan cemburu lagi di hati Lusi, kali ini ia cemburu kepada kasur, guling, batal, dan seisi ruang kamar Alan, seharusnya yang di peluk Alan ketika tidur adalah Lusi, Lusi cemburu kepada setiap benda mati di kamar Alan, bagaimana bisa benda mati mendapatkan apa yang selama ini Lusi inginkan, benda mati, hanya benda mati, Lusi tak percaya Alan memilih benda mati di bandingkan Lusi untuk menemaninya tidur, untuk menjaganya sepanjang malam, yang lebih gila lagi adalah kini bukan Lusi satu – satu nya yang melihat seluruh tubuh Alan, benda – benda mati sudah menggerayangi seluruh tubuh Alan diam – diam saat Alan sedang mengganti pakaiannya, kali ini Lusi tidak bisa diam begitu saja.
“ sayang kamu bisa gak tidur di kamar yang gak ada isinya sama sekali, gak ada kasur, gak ada lemari, gak ada pajangan – pajangan , gak ada bantal dan guling ? “ tanya Lusi konyol.
“ maksud kamu gimana sayang, kamu aneh deh nanyanya “ jawab Alan.
“ aku cemburu “.
Alan terdiam, diamnya mendobrak nalar Lusi, masuk dan mengelana disana, Alan merasakan hal yang sama, ia cemburu pada semua hal di sekeliling Lusi yang merampas  tempatnya.


Bogor, 2 September 2013

Untuk Al dan Jarak

MANEKIN

“ Dan diam, adalah bahasa yang di pahami alam, hanya diam “





Aku bisa jatuh terlena, menikmati aroma tubuhnya yang di bawa angin ketika ia melewatiku, aroma lehernya seperti jeruk, menyegarkan, dan bisa saja aku mulai bergairah ketika dia mengerayangi pakaianku, menyentuh kulit tanganku hingga paha, jarinya yang lembut membuat aku hampir saja berimajinasi bercinta dengannya disaat toko sudah tutup, menikmatinya di sekelilingku dengan khidmat membuat aku hampir saja tertangkap basah sedang mengikuti geraknya dengan mataku, ahhhh rasanya aku ingin sekali bertanya siapa namanya, kemudian saling bercakap – cakap banyak hal, mengenai semua hal tentang keduanya yang sama – sama ingin di ketahui, saat malam semakin larut, kata – kata menjelma gerak, ciuman – ciuman mengambil peran pertama. Aku sadar betul di sampingku, manekin laki – laki bergaya kantoran itu sedang memperhatikanku, mungkin ia risih akibat gerak – gerikku yang  bisa saja membahayakannya, tadinya aku tak mau ambil pusing, tapi aku berfikir mungkin benar juga jika seharusnya aku menjaga sikap, apa jadinya nanti jika pengunjung toko menangkap basah sebuah manekin bergerak atau orgasme.
Sudah tiga hari ini laki – laki itu datang ke toko tanpa membeli satu helai pakaian pun, dia hanya melihat – lihat manekin laki – laki di sebelahku, sesekali dia iseng meraba – raba aku dengan mata yang tetap memandangi harga jas  yang di pasangkan pemilik toko di kerah jas manekin disampingku, aku  nikmat bukan kepalang, bagaimana tidak jarinya menekan – nekan pahaku, apa dia tidak berfikir bahwa aku ini hidup, walau jasadku hanya sebuah patung beku dan kaku, yang bisa saja rusak, tapi jiwaku tetap hidup, jiwaku hal yang sakral dan nyata, merasakan segala nyeri dan bahagia, kecewa juga menyesal, tak terkecuali nikmat yang di alirkan jari – jarinya di atas kulitku, tapi benar, dia mana mungkin mengetahuinya, bergerak sedikit pun aku tidak melakukannya, mungkin sesekali hanya mataku, itupun jika tak ada pengunjung yang berada di sekitarku, itu sebabnya mungkin dia semakin asik mendamparkan lengan dan jemarinya di kulitku, atau mungkin dia sedang berimajinasi andai aku hidup dan ia ingin bercinta denganku, karena tidak bisa di pungkiri, meskipun aku sebuah manekin, tubuhku tak kalah sexy dengan wanita hidup, mungkin aku lebih sempurna, tubuhku tinggi langsing, dada ku besar padat, pinggang ku kecil, bokongku bulat sempurna, walau terbungkus pakaian bersegel harga, tubuhku membentuknya sempurna. Dia melenggang pergi menuju sebuah coffee house di sebrang toko ini, mataku membuntuti, beruntungnya aku karena  tak ada satupun penghalang yang bisa menghilangkan bayangannya, aku terus melihatnya hingga masuk, memesan, dan menikmati secangkir coffee, dia duduk hanya seorang diri, aku mulai lagi berimajinasi, andai tak ada yang peduli aku ini hidup, sehingga takan ada satupun yang terkejut jika aku bergerak, aku akan menemaninya, minum coffee bersama sambil membicarakan hal yang menyenangkan, pastilah membahagiakan, tapi kembali lagi pada dunia nyata, aku ini hanya sebuah manekin, dan hanya jiwaku saja yang dapat mengelana.
Dia memandang kesini, melihat lagi manekin di sampingku, mengeluarkan dompet dari sakunya, mengintip, melihat lagi kesini, lalu melenggang pergi, aku penasaran apa yang sebenarnya dia cari, apa alasan dia kesini, memandang dan kemudian pergi begitu saja, sungguh itu hal yang membuat aku gila, bagaimana tidak, aku jatuh cinta kepada seorang laki – laki yang entah apa alasannya datang berkunjung ke toko ini, dan akibat dari perbuatannya itu membuat aku tergila – gila sampai hampir gila. Malam sudah larut, senja pulang dan tidur, malam siaga menjaga alam, bintang dan bulan mulai bersaing berdandan, yang menor adalah yang cantik, bukankah manusia lebih menyukai riasan bintang dan bulan yang menor, sehingga cahayanya menyita mata – mata untuk menikmati pesonanya, lalu apa yang terjadi pada riasan bintang yang di poles bedakpun tidak, ia redup, ia terabaikan, ia di anggap tak ada, tapi ia ada, dengan cahaya yang meletup – letup, nyala, padam, nyala, padam, kemudian mati, tapi itulah hidup, keseimbangan yang takan pernah seimbang.
Laki – laki itu baru saja keluar dari coffee house sebrang toko, ia menatap kesini kemudian mendekati, tunggu, ia menatap aku, kali ini ia menatap aku, tepat di mataku, bagian tubuh yang selalu menjadi yang paling bodoh belajar berdusta, lalu ia menatap lagi manekin sebelahku, ah aku benar – benar kesal, apa yang kurang menarik dariku, yang membuatnya lebih memilih memandangi berulang kali manekin kaku bergaya kantoran di sebelahku itu. “ Uang ku masih tak cukup “ gumamnya lirih, aku menemukan alasannya mengapa dia selalu saja datang kesini, dia mau membeli jas yang di peragakan manekin sebelahku namun uangnya masih belum cukup untuk membeli. Dia bersandar di kaca toko, kemudian duduk di teras jalan, tak ada penghangat yang dia kenakan, jaket atau semacamnya, padahal cuaca sedang dingin – dinginnya, angin sedang jatuh cinta dan kasmaran kepada dedaunan, sebab itu angin berlari –lari kencang, hembusannya membuat daun – daun menari dan melihatnya demikian membuat angin kehilangan arah, namun mereka tetap sepasang kekasih yang saling mengisi juga melengkapi. Lengannya memeluk tubuh sendiri, dari mulutnya keluar hembusan uap – uap akibat dingin, dari sini, dari jarak yang bisa saja aku tempuh untuk memeluknya, tapi aku memilih diam, dan sepanjang koridor toko, pelukanku adalah lampu – lampu yang menggerayangi tubuhnya, memeluknya tanpa tubuh adalah cara yang bisa ku tempuh saat ini, sampai doa yang ku pos kan kepada Tuhan sampai, untuk mengubahku menjadi manusia, itupun jika Tuhan tidak memilih – milih doa mana dan siapa saja yang dapat di kabulkan, jika begitu apalah arti sebuah doa dari manekin yang ingin menjadi manusia.
Sudah beberapa hari ini dia tak datang berkunjung, banyak pengunjung lain yang menggerayangi aku, ada wanita ada juga pria, jari – jarinya membuat aku jijik, enak saja mereka menyentuh aku. Kulitku, tubuhku hanya untuk laki – laki itu, tapi dia ada dimana ? apa dia baik – baik saja, aku rindu di sentuh. Sepanjang hari aku berdoa kepada Tuhan yang semoga saja tak menimbang – nimbang doa sebuah manekin pantas di kabulkan atau tidak, aku berdoa dari pagi hingga malam,  detak jarum jam membuat aku ngilu, sebab sudah berapa banyak waktu yang membuat aku semakin tersiksa karena rindu bertamu di sepanjang kulitku, dan berjuta – juta dia berjalan – jalan di ruang kepalaku, aku melihat ke sebrang toko ini, kau yang biasanya disanapun tak ada.
Dua hari tanpa kedatangnya membuat aku tak karuan, aku menangis tak tahu waktu dan tempat, hampir saja seisi toko tengah mempergokiku, karena aku menangis di saat toko ramai, seorang pengunjung heran melihat dari mana air di mataku ini, padahal jika bocor dari atap hujan pun tidak, aku hampir menjadi perhatian banyak orang, oh Tuhan dimana dia, aku bosan menunggu dan menunggu, aku rindu, sungguh, kulitku ibarat tanah gersang terbelah yang membutuhkan hujan bertahun – tahun, aku rindu di sentuh jari – jari nya. Dua hari penuh dengan sepi, walalu suara tawa dan perbincangan banyak orang disini tetap membuat aku merasa sendiri, suara – suara yang masuk ibarat sebuah kilat dan hanya sesaat, padahal di luar sadarku kilatnya menggeleggar, begitulah ramainya seisi toko ini, dan itulah rupa sepi hatiku. Kesepianku ini seolah di rahasiakan langit senja yang sedang cantik – cantiknya, itu sebabnya setelah bertemu dengannya aku selalu memuja langit senja yang pandai menjagaku dari lemah, demi tidak di ketahuinya, jika langit abu – abu, murung, dan menekuk dagu, comel sana sini bahwa aku tengah kesepian dan sesekali menangis, lalu siapa yang akan berbohong dan menjaga kelemahanku agar tidak menjadi buah bibir. Senja selalu menjadi yang terbaik di hati siapapun bukan, senja yang selalu menyita semua mata, senja keemas – emasan yang merah.
“ permisi mba, saya mau beli jas yang di pajang disana “, “ baik mas akan saya sediakan “.
Begitulah percakapan yang ku tangkap di belakang tubuhku yang kaku dan terpajang di depan toko, suara yang akrab dengan telingaku, suara yang lirih mendayu – dayu, suara yang menjelma lagu kebahagiaan, suaranya. Aku menyelipkan pelukan – pelukan tanpa tubuh di saku jas yang di pakai manekin laki – laki di sebelahku, jas ini akan dibeli laki – laki itu, jas ini akan di kenakannya, bersama pelukanku, yang akan menjaganya dari dingin, yang akan membuatnya tetap hangat, aku tak peduli mungkin dia akan merasa kegerahan atau semacamnya, pelukanku akan terus mengelana di sepanjang tubuhnya.
Setelah hari itu, batas aku menatapnya hanya di batasi jalan, dia tidak lagi berkunjung kesini, dia rutin datang ke coffee house, sekedar untuk bersantai sambil minum coffee dan menatap tanpa bosan perpisahan senja dengan Alam, aku menikmatinya dari sini, rasa rindu masih menggebu –gebu walau beberapa terselesaikan, namun dagaha di kulitku masih membara, terakhir berkunjung jarinya tak lagi menekan – nekan pahaku, padahal aku sangat ingin, hal itu sudah seperti candu yang membuat aku sakau. Dari hari ke hari memandanginya dari sini adalah satu – satunya cara yang dapat aku tempuh, meskipun aku dapat berlari menerobos kaca, tapi tak akan aku lakukan, banyak hal yang akan terjadi jika begitu, dia akan gila karena dia dicintai sebuah manekin, dan aku akan kehilangannya, kemungkinan terbaiknya adalah, dia memang sudah gila dari dulu dan akan menikahiku. Namun apalah arti cinta dari sebuah manekin yang terpajang sempurna di balik kaca toko, sementara keajaiban masih tidak mungkin hinggap di kehidupan sebuah manekin, biarkan laki – laki itu hidup selamanya dalam ruang kepala yang sudah terpenuhi berjuta – juta wajahnya, dan biarkan pula, kemarau panjang meretakkan kulit – kulit yang haus akan sentuhannya. Manekin itu selamanya terperangkap dalam bayang – bayang laki – laki beraroma jeruk yang menyegarkan, selamanya.