Selasa, 19 Agustus 2014

MERAYAKAN PENYESALAN





“ menemani sejarah adalah caraku merayakan penyesalan “










Sudah kubilang, aku tidak mencintaimu, namun kau masih saja keras kepala, berkali – kali kugantung cintamu di atas  sumbu yang berapi biar terbakar dan menjadi abu, namun kau balas bertubi – tubi dengan cinta yang menghujaniku, cinta yang membuat aku basah kuyup, cintamu yang  tidak tahu diri, membuat  semuanya berantakan.
Di pagi hari, cintamu datang serupa sarapan, kamu membuatnya memang dengan hati, namun sampai di tenggorokkanku hambar, rasa yang tidak enak itu penuh sepenuh – penuhnya, membuat aku sesak, jelas bukan, aku akan merasa begitu, karena aku tidak mencintaimu.
Di malam hari, cinta mu menjelma pelukan – pelukan tanpa tubuh, yang  menggerayangi seisi kamarku,  naik di atas ranjang, dan menyelinap ke dalam bajuku,  angin yang berhembus kecil sampai  menderu – deru sekalipun takut dengan pelukanmu, malam yang dingin dan kelaparan pun tunduk dengan kehangatan yang kau lingkarkan di sekujur tubuhku, cintamu menjagaku dari semua hal yang datang untuk melukai.
Pardi yang  kasihan, Pardi yang merenda harapan, jika aku terlihat baik kepadamu, tentu itu karena aku hanya ingin sekedar membalas kebaikan mu, catat bukan membalas cinta mu. Kau datang kepadaku, di saat senja yang baru ranum memerah keemasan, kuning yang di lipat – lipat  awan, membuat wajah langit  menor mempesona, kau datang dengan mengenakan jaket yang sakunya menggembul sampai membuat kau terlihat seperti badut, saku – saku mu penuh, aku heran apa yang kau selipkan disana Pardi, apakah itu yang selalu kau berikan kepadaku di saat malam hari, sesuatu yang entah namun hangat, tak berwujud namun terasa, itukah Pardi sesuatu yang kau sebut pelukan tanpa tubuh ?. Kau selalu mampir ke rumahku saat senja, selalu saat  senja, seperti sengaja mengingatkan aku pada suatu hal yang tersembunyi dalam senja, kau dan aku tahu pasti ya Pardi bahwa senja yang cantik sekalipun, selalu berujung pada awan yang kehitaman – hitaman, lalu tenggelam bersamaan  ke dalam lautan yang hitam, artinya, senja sepanjang apapun selalu menawarkan perpisahan yang sendu, lalu apa artinya dari kunjunganmu, kau juga ingin menawarkan perpisahan ? ah aku senang  sekali, jika begitu pagi dan malam ku tidak akan ada lagi yang di penuhi pemberianmu, namun jika kau ingin menawarkan perpisahan, lalu mengapa kau meninggalkan pelukan, apakah pelukan sebagai jaminan ya pardi, masa bodoh aku tetap tidak perduli, sekeras apapun kamu mencintaiku, Pardi aku tidak akan mencintaimu, tentu karena aku takut akan menjadi pecinta yang  tidak tahu diri seperti kamu, jika sudah begitu tak ada bedanya aku dan pensyair yang kehilangan kata  - kata, tahu yang di rasakan, tahu yang di fikirkan, tapi tak punya kata – kata untuk di tuliskan.
Malam tiba, kau bergegas menyimpan sesuatu yang kau keluarkan dari sakumu, di atas meja samping ranjangku, kau bilang anggap itu sebuah vitamin yang ketika ku minum, akan menjaga tubuhku. “ jangan lupa kenakan pelukanku yang ku simpan di atas meja “ pintamu sebelum pulang, setiap malam selalu itu yang ku dengar, kamu seperti seorang Ibu yang resah.
Pardi yang kasihan, Pardi yang merenda harapan, kau tahu bukan, aku tidak mencintaimu, tapi mengapa kamu masih disana, diam di situ - situ saja, sekalipun saat senja dan perpisahannya yang di tawarkan kepada alam, kamu masih diam disitu, mematung . Pardi yang punya cinta tidak tahu diri, kalau aku jadi kamu, sudah jauh mungkin aku pergi.
Pagi hari kita bertemu, wajahmu berseri – seri namun bibirnya putih pasi, kau berdandan dengan senyuman pagi ini. Pardi yang malang, masih saja bisa tertawa padahal hatinya menjerit nelangsa, “ kau pakai pelukanku kan ?, tentu iya, saat menuju kesini, di jalan aku bertemu dengan angin yang murung dan dinginnya yang  terisak, mereka terlihat seperti pecundang, tentu itu karena mereka tidak bisa menyakitimu “,  aku tak menjawab pertanyaan dan tuduhannya, semua yang di katakannya itu benar, semoga saja dia tidak merasa dengan aku mengenakannya, aku telah membuka hati untuknya, sudah kutegaskan kepadanya dan semoga dia tidak lupa bahwa aku tidak mencintainya. Pardi yang datang padaku pagi ini, begitu berseri – seri, namun bibirnya putih pasi.
“ Apa kau tidak mencintai yang lain Pardi ? “.
“ Tak ada yang lain Rani, jika Tuhan sudah mempersiapkan satu dan hanya satulah yang akan aku cintai “.
“ Pardi bodoh, kau tahu bukan aku tidak mencintaimu, cinta yang darimu menghujaniku, sampai padaku hanya deras beban yang menghantui ruang kepalaku, kau fikir sedikitlah, aku juga manusia, aku juga punya hati, melihat kau menunggu sia – sia juga membuat aku iba, mau ku hentikan kamu keras kepala, itu sebabnya Pardi aku baik padamu “, lidahku mengasah kuku kata menjadi runcing, bertebaran di sekat  - sekat jantungnya, menyelinap ke seluruh rongga, dan tepat di hatinya, kata menggores luka.
“ Rani yang menggebu – gebu, Rani yang perduli, aku mencintaimu memang adalah kebenaran, tapi memilikimu bukanlah keinginan, engkau hanyalah suatu hal dari Tuhan yang harus ku jaga, tidak di cintaimu hanyalah aneka dari ujian yang harus aku lalui, sekalipun kamu menghentikanku, aku tetaplah aku yang akan selalu mencintaimu, seperti sebuah jam, kau bandul yang akulah detaknya, dan angka – angka adalah doa – doa yang mengelilingimu ”.
“ Kau mau jatuh sedalam apa lagi Pardi, kau bisa berhenti jika kamu mau, Tuhan pun pasti mengerti Pardi “.
“ Rani yang manis, Rani yang ku cintai, jika  cintaku pepohonan yang  gundul dan kering di atas jurang, dan aku adalah daun kering yang tersisa, takdir daun adalah kering,  jatuh, kemudian mati,  maka aku hanya rela jatuh jika itu karena embunmu, engkau adalah pagi yang ku tunggu – tunggu sepanjang malam yang membeku “. Kata – kata nya membuatku berhenti bertanya, aku seperti gelas utuh yang  kemudian pecah, wajahnya, suaranya, seketika memenuhi semesta.
Pardi yang tidak tahu diri, begitu yakin dengan cintanya yang menggebu – gebu, keyakinannya seperti sejati, padahal dia tahu di dunia yang  serba kecil ini mustahil ada yang sejati, apa dia tidak berfikir panjang, bahwa apa yang  telah di berikannya akan melukaiku suatu saat nanti. “ Rani yang manis, Rani yang perduli, aku ingin memenangkanmu karena pernah meneteskan air mata, sekalipun bukan memenangkan hatimu, setidaknya aku menjadi pemenang, sebagai satu – satu nya hal yang memenuhi ruang kepalamu, sekalipun hanya penuh iba kepadaku “ kata – kata ia sambungkan, lengkap sudah, genap bebanku berjuta – juta , Tuhan ternyata menciptakan juga orang seperti Pardi, orang yang begitu menggilai cintanya sendiri.
Bertahun – tahun, hujan cintanya Pardi terus deras, cinta Pardi yang deras ini, mendobrak tanggul hati yang  telah ku jaga, Pardi yang kasihan kini memenangkan segalanya,  sampai pada bencana, tepatnya saat matahari mengusir rintik – rintik dalam semesta hati Pardi, hujan yang deras kini adalah tetesan yang hampir kering, Pardi yang selama ini berawan mendung, menggilai pagi hari, dan resah di saat malam, Pardi yang terus membuat hujan kini punya matahari, matahari datang selambat  anak kura – kura, aku masih punya waktu untuk terus membuat Pardi semendung malam, dan hujannya terus deras membasahiku, tapi melihat Pardi begitu aku iba, di saat pagi hari ia datang  padaku membawa sarapan, sementara hatinya kelaparan, di malam hari ia datang membawa pelukan untukku, di sakunya yang penuh pelukan itu, Pardi memilih kedinginan dan memeluk hatinya sendiri,  Pardi yang hanya daun kering di atas jurang telah jatuh karenaku, di dalam jurang yang pekat dan gelap itu, matahari menemukannya, bagaimana aku tahu di dalam jurang ada matahari, sementara di sini hujan tak pernah berhenti karena Pardi, Pardi membuat aku percaya bahwa derasnya hanyalah milikku. Matahari yang jalannya lambat, merangkak, pastilah sampai pada tujuan, dia akan mengeringkan hujan di hati Pardi, Pardi yang hatinya nelangsa kini mungkin bersuka cita, karena mungkin matahari membuatnya juga merasa bahwa pelukan itu hangat, Pardi yang tidak pernah di peluk itu, sekalipun menundukkan dingin, pastilah ingin merasakan hangat juga bukan, Pardi yang kasihan, ini lah yang  aku takutkan.
Beberapa tetes hujan di hati Pardi yang tersisa sudah dapat ku hitung, waktunya hanya selingkar banyak angka jam. Pardi, mungkin aku telah menjadi bodoh karena cintamu, aku yang tegas tidak mencintaimu, kini hanya menerka – nerka bagaimana bisa kedududkanmu kini adalah aku, Pardi, mungkin terlambat jika aku baru memulai mempercayaimu, menerimamu, tapi jika aku tidak merasa kau akan terenggut, hatiku tidak akan terbuka. Aku kini membuat hujan, memang barulah rintik – rintik, namun pasti menderas, aku membuat hujan yang biasa – biasa saja, emang tidak sehebat kamu Pardi, tapi itu tulus untukmu, namun hanya begitu saja sudah membuatku nelangsa, mungkin jika aku adalah daun, tak perlu menunggu embun, sudah mati dan terjatuh lebih dulu, aku tak sehebat kamu Pardi.
Aku ini tegas memang, namun tegas tidaklah selalu benar dan selamat pada apapun, bisa saja tegas juga membuat aku sampai pada kehancuran, aku menyesal pernah terus mengingatkanmu bahwa aku tidak mencintaimu, sementara cintamu terus deras menghujaniku, sekarang Pardi saat semuanya sudah terbalik, apa yang  tetap kau ingat hanya “ aku tidak mencintaimu “.
Matahari merangkak dengan pasti, hampir sampai padamu Pardi. Di malam hari kau datang padaku dengan biasanya memberi pelukan tanpa tubuh, di saku bajumu yang biasa kulihat penuh, kini kosong melompong, “ pelukan yang kau berikan padaku malam ini adalah pelukan terakhir yang kau punya kan Pardi ? “ aku bertanya, dengan nada yang tertahan, bagaimana bisa aku yang tegas tidak mencintainya, bisa meraskan sesak juga.
“ tidak Rani, akan ku buatkan lagi pelukan – pelukan untuk menjagamu, hanya saja kini aku sedikit membeku “
“ Pardi, senja di langit tadi mencari – cari kamu, kamu sudah tidak lagi disana bukan ? kau bergegas pergi kemana “
“ . . . “ dia hanya diam, wajahnya resah, air mata tertahan di kelopak matanya, air mata yang membuat matanya berbinar.
“ Rani, ada yang mencintaiku, menawarkan kebahagian, tapi untukku hal yang paling membahagiakan adalah mencintaimu, aku tidak ingin bolos dari derita yang mengujiku, tapi ujian tetaplah ujian yang akan terus melahirkan duka yang beranak – pinak, meski pada akhirnya memenangkan bahagia, namun sekeras apapun aku mencintaimu  Rani, dalam hatiku sesungguhnya merindukan pelukan, melupakanmu adalah hal yang mustahil Rani, sebab itu kau adalah hiasan yang penuh di ruang kepalaku, namun  izinkan aku . . .“, kata –katanya belum selesai, aku memotongnya, itu karena aku tahu apa yang akan ia lontarkan, ia ingin meninggalkanku untuk menjaga bahagia.
“ dan itu sebabnya, ku lihat senja di matamu Pardi, senja yang merah keemas – emasan, senja yang menawarkan perpisahan “
Barulah kuraskan air mataku mengalir, membasahi pipiku dan hati yang kering, jika dulu cinta yang deras dari Pardi membuat aku sesak, sekarang aku tenggelam dalam air mataku sendiri.
“ Rani yang ku cintai, kau selalu pemilik singgasana di hatiku, kau ratu segala hari, kau embun yang menyegarkan walau membuat  aku terjatuh, kau akan tetap engkau pemilik kuasa hatiku, siapapun, sekalipun datang padaku seseorang yang mencintaiku sedemikian rupa, air mataku akan tetap mengalir untukmu, dan karenamu Rani “.
“ Pardi yang bodoh, Pardi yang malang, sekarang kau tahu bukan, bahwa dicintai itu adalah keberuntungan, kekuatan yang bisa mengalahkan apa saja, perlindungan yang menundukkan luka, Pardi itu sebabnya aku tidak ingin kehilangan kamu. Tapi baiklah, pergilah menujunya, ketempat dimana kau bisa menemukan pelukan, meretakkan bekumu yang sekarat,  kau orang baik Pardi, Tuhan pun tak tega membuat kamu terus mencintai, itu sebabnya Tuhan menghadirkannya untuk mencintaimu, Pardi ku izinkan kau untuk bahagia  “. Mengeluarkan kata – kata itu seperti mengundang bencana untuk melenyapkan semesta, kiamat kecil yang menghancurkan kehidupan, Pardi yang bodoh, ia terbiasa menunggu saat senja, namun sekarang mengapa dia begitu tergesa – gesa ingin bahagia, dan tidak bisa menungguku untuk membahagiakannya, aku sedang mencintainya, perlu proses untuk menjadi hebat sepertinya, aku bukan pecinta yang bodoh seperti dia, karena dulu aku pernah tegas tidak mencintainya, dan menerimanya bukan sesuatu yang mudah, tapi biar begitu aku ingin mencoba mencintainya tulus hanya untuknya, Pardi tidak mengerti itu,  karena Pardi bodoh yang menggilai cintanya sendiri.
Air mata kita tertahan malam itu, menderas di hati masing – masing, aku ingin memeluknya, namun tak kuasa, Pardi yang sudah menemukan pelukan terhangat, pastilah tak lagi kedinginan, di bandingkan pelukanku yang masih sesekali membawa dingin. Ku simpan pelukan terakhir dari pardi, ku simpan di laci meja, di atas ranjang yang di hinggapi dingin dan membuat ku menggigil, di saat angin riak tertawa, menderu – deru di seluas kulitku, aku memeluk sendiri hatiku.
Hujan yang dulu deras dari Pardi kini tinggallah jejak, semoga Pardi tidak lupa bahwa ia pernah sangat bahagia membuat hujan itu, walau di hatinya nelangsa. Pardi yang malam ini hanyalah sisa bayangan yang hitam kemudian hilang, dari kepergiannya meninggalkan sesak dan duka, seisi kamar kini hanyalah sepi yang menggantung menghias, tak ada Pardi yang datang di pagi dan malam hari, tak juga yang menunggu saat senja, Pardi mungkin tengah resah memilih terus menghujaniku dengan cinta dan nelangsa, atau bergegas mengikuti matahari, namun  apapun itu ia akan sampai pada bahagia.
Tak ada lagi Pardi, dimana rimbanya pun aku tak tahu, Pardi menghilang tanpa kata – kata  selamat tinggal, Pardi yang sudah bahagia mungkin sedang terlena menikmati pelukan.

Pardi.
Jika kau membaca surat ini mungkin aku sudah jatuh kedalam jurang yang kau pernah disana, di sini sunyi, pekat, gelap dan sepi ya Pardi, ternyata disini kita dapat mendengar suara – suara dalam hati, telingaku kini tuli Pardi, suara – suara hati telah memecahkan gendang telingaku, sekarang aku mengerti Pardi, kau begitu kesedihan, kau begitu kesunyian, sepanjang mencintaiku, yang kau perjuangkan hanya terbalas oleh kehampaan, Pardi yang sedang bahagia, ya boleh kan ku hakimi kau demikian, sebab bertahun – tahun lamanya kau tak lagi datang padaku. Pardi pelukan terakhir yang kau berikan tak ku pakai, aku memilihnya untuk  mewakilimu menemaniku, karena itu, Pardi,  angin dan dingin berhasil membekukanku, aku tak sehebat  kamu yang bisa bertahan Pardi, memeluk hati sendiri sebuah kesengsaraan, kini aku bandul jam yang kehilangan detaknya.  Aku meninggalkan seisi kamar yang masih memelihara hangat pelukanmu, merdu suaramu, yang sesekali merobek – robek hatiku, aku tak mau Pardi jika adegan – adegan itu merobek pula ingatanku, aku ingin terus mengingatmu sepanjang hayat sebagai satu – satu nya perlambang bahwa aku pernah sangat bahagia karena di cintaimu. Pardi aku kini sekarat, tinggal menepi di bawah jurang yang penuh dengan kesunyian, dengan pelukan terakhir darimu yang selalu ku bawa – bawa, pelukan yang ku sematkan sebagai sejarah yang di tinggalkan masa itu,  aku kedinginan Pardi, tapi aku tetap tak ingin mengenakannya, aku tak ingin bergegas kemanapun, sekalipun berjuta – juta matahari mengangkatku dari kegelapan, aku memilih menemani sejarah, merayakan penyesalan dengan begitu khidmat. Aku dan kau sama – sama tahu ya Pardi, bahwa di dunia yang serba kecil ini mustahil ada yang sejati, namun aku menemukannya Pardi, sesuatu yang sejati adalah ingatan yang di buku kan dalam sebuah pelukan dan adegan – adegan yang di tinggalkan.  Jika aku sudah mati, dan kau menemukan bangkaiku yang tengah menggenggam pelukanmu, aku harap itu akan mengingatkanmu bahwa kau pernah luar biasa mencintaiku. Pardi yang bodoh, aku ingin kau lupa bahwa aku tidak mencintaimu.
Ku masukkan surat ku kedalam botol kaca, ku tepikan di pinggir laut, ku lihat botol berisi surat itu terombang  ambing di punggung ombak, kemanapun lautan membawanya, siapapun yang membacanya, akan menjadi saksi bahwa aku, Rani, sudah mencintai Pardi.



Bogor, 9 Maret 2014

Untuk kha risman yang sudah menemukan pelukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar