“ menemani sejarah adalah caraku
merayakan penyesalan “
Sudah
kubilang, aku tidak mencintaimu, namun kau masih saja keras kepala, berkali –
kali kugantung cintamu di atas sumbu
yang berapi biar terbakar dan menjadi abu, namun kau balas bertubi – tubi
dengan cinta yang menghujaniku, cinta yang membuat aku basah kuyup, cintamu
yang tidak tahu diri, membuat semuanya berantakan.
Di
pagi hari, cintamu datang serupa sarapan, kamu membuatnya memang dengan hati,
namun sampai di tenggorokkanku hambar, rasa yang tidak enak itu penuh sepenuh –
penuhnya, membuat aku sesak, jelas bukan, aku akan merasa begitu, karena aku
tidak mencintaimu.
Di
malam hari, cinta mu menjelma pelukan – pelukan tanpa tubuh, yang menggerayangi seisi kamarku, naik di atas ranjang, dan menyelinap ke dalam
bajuku, angin yang berhembus kecil
sampai menderu – deru sekalipun takut
dengan pelukanmu, malam yang dingin dan kelaparan pun tunduk dengan kehangatan
yang kau lingkarkan di sekujur tubuhku, cintamu menjagaku dari semua hal yang
datang untuk melukai.
Pardi
yang kasihan, Pardi yang merenda
harapan, jika aku terlihat baik kepadamu, tentu itu karena aku hanya ingin
sekedar membalas kebaikan mu, catat bukan membalas cinta mu. Kau datang
kepadaku, di saat senja yang baru ranum memerah keemasan, kuning yang di lipat
– lipat awan, membuat wajah langit menor mempesona, kau datang dengan mengenakan
jaket yang sakunya menggembul sampai membuat kau terlihat seperti badut, saku –
saku mu penuh, aku heran apa yang kau selipkan disana Pardi, apakah itu yang
selalu kau berikan kepadaku di saat malam hari, sesuatu yang entah namun
hangat, tak berwujud namun terasa, itukah Pardi sesuatu yang kau sebut pelukan
tanpa tubuh ?. Kau selalu mampir ke rumahku saat senja, selalu saat senja, seperti sengaja mengingatkan aku pada
suatu hal yang tersembunyi dalam senja, kau dan aku tahu pasti ya Pardi bahwa
senja yang cantik sekalipun, selalu berujung pada awan yang kehitaman –
hitaman, lalu tenggelam bersamaan ke
dalam lautan yang hitam, artinya, senja sepanjang apapun selalu menawarkan
perpisahan yang sendu, lalu apa artinya dari kunjunganmu, kau juga ingin
menawarkan perpisahan ? ah aku senang
sekali, jika begitu pagi dan malam ku tidak akan ada lagi yang di penuhi
pemberianmu, namun jika kau ingin menawarkan perpisahan, lalu mengapa kau meninggalkan
pelukan, apakah pelukan sebagai jaminan ya pardi, masa bodoh aku tetap tidak perduli,
sekeras apapun kamu mencintaiku, Pardi aku tidak akan mencintaimu, tentu karena
aku takut akan menjadi pecinta yang tidak
tahu diri seperti kamu, jika sudah begitu tak ada bedanya aku dan pensyair yang
kehilangan kata - kata, tahu yang di
rasakan, tahu yang di fikirkan, tapi tak punya kata – kata untuk di tuliskan.
Malam
tiba, kau bergegas menyimpan sesuatu yang kau keluarkan dari sakumu, di atas
meja samping ranjangku, kau bilang anggap itu sebuah vitamin yang ketika ku
minum, akan menjaga tubuhku. “ jangan lupa kenakan pelukanku yang ku simpan di
atas meja “ pintamu sebelum pulang, setiap malam selalu itu yang ku dengar,
kamu seperti seorang Ibu yang resah.
Pardi
yang kasihan, Pardi yang merenda harapan, kau tahu bukan, aku tidak
mencintaimu, tapi mengapa kamu masih disana, diam di situ - situ saja,
sekalipun saat senja dan perpisahannya yang di tawarkan kepada alam, kamu masih
diam disitu, mematung . Pardi yang punya cinta tidak tahu diri, kalau aku jadi
kamu, sudah jauh mungkin aku pergi.
Pagi
hari kita bertemu, wajahmu berseri – seri namun bibirnya putih pasi, kau berdandan
dengan senyuman pagi ini. Pardi yang malang, masih saja bisa tertawa padahal
hatinya menjerit nelangsa, “ kau pakai pelukanku kan ?, tentu iya, saat menuju
kesini, di jalan aku bertemu dengan angin yang murung dan dinginnya yang terisak, mereka terlihat seperti pecundang,
tentu itu karena mereka tidak bisa menyakitimu “, aku tak menjawab pertanyaan dan tuduhannya,
semua yang di katakannya itu benar, semoga saja dia tidak merasa dengan aku
mengenakannya, aku telah membuka hati untuknya, sudah kutegaskan kepadanya dan
semoga dia tidak lupa bahwa aku tidak mencintainya. Pardi yang datang padaku
pagi ini, begitu berseri – seri, namun bibirnya putih pasi.
“
Apa kau tidak mencintai yang lain Pardi ? “.
“
Tak ada yang lain Rani, jika Tuhan sudah mempersiapkan satu dan hanya satulah yang
akan aku cintai “.
“
Pardi bodoh, kau tahu bukan aku tidak mencintaimu, cinta yang darimu
menghujaniku, sampai padaku hanya deras beban yang menghantui ruang kepalaku,
kau fikir sedikitlah, aku juga manusia, aku juga punya hati, melihat kau
menunggu sia – sia juga membuat aku iba, mau ku hentikan kamu keras kepala, itu
sebabnya Pardi aku baik padamu “, lidahku mengasah kuku kata menjadi runcing,
bertebaran di sekat - sekat jantungnya,
menyelinap ke seluruh rongga, dan tepat di hatinya, kata menggores luka.
“
Rani yang menggebu – gebu, Rani yang perduli, aku mencintaimu memang adalah
kebenaran, tapi memilikimu bukanlah keinginan, engkau hanyalah suatu hal dari
Tuhan yang harus ku jaga, tidak di cintaimu hanyalah aneka dari ujian yang
harus aku lalui, sekalipun kamu menghentikanku, aku tetaplah aku yang akan
selalu mencintaimu, seperti sebuah jam, kau bandul yang akulah detaknya, dan
angka – angka adalah doa – doa yang mengelilingimu ”.
“
Kau mau jatuh sedalam apa lagi Pardi, kau bisa berhenti jika kamu mau, Tuhan
pun pasti mengerti Pardi “.
“
Rani yang manis, Rani yang ku cintai, jika
cintaku pepohonan yang gundul dan
kering di atas jurang, dan aku adalah daun kering yang tersisa, takdir daun
adalah kering, jatuh, kemudian
mati, maka aku hanya rela jatuh jika itu
karena embunmu, engkau adalah pagi yang ku tunggu – tunggu sepanjang malam yang
membeku “. Kata – kata nya membuatku berhenti bertanya, aku seperti gelas utuh
yang kemudian pecah, wajahnya, suaranya,
seketika memenuhi semesta.
Pardi
yang tidak tahu diri, begitu yakin dengan cintanya yang menggebu – gebu,
keyakinannya seperti sejati, padahal dia tahu di dunia yang serba kecil ini mustahil ada yang sejati, apa
dia tidak berfikir panjang, bahwa apa yang
telah di berikannya akan melukaiku suatu saat nanti. “ Rani yang manis,
Rani yang perduli, aku ingin memenangkanmu karena pernah meneteskan air mata,
sekalipun bukan memenangkan hatimu, setidaknya aku menjadi pemenang, sebagai
satu – satu nya hal yang memenuhi ruang kepalamu, sekalipun hanya penuh iba
kepadaku “ kata – kata ia sambungkan, lengkap sudah, genap bebanku berjuta –
juta , Tuhan ternyata menciptakan juga orang seperti Pardi, orang yang begitu
menggilai cintanya sendiri.
Bertahun
– tahun, hujan cintanya Pardi terus deras, cinta Pardi yang deras ini,
mendobrak tanggul hati yang telah ku
jaga, Pardi yang kasihan kini memenangkan segalanya, sampai pada bencana, tepatnya saat matahari mengusir
rintik – rintik dalam semesta hati Pardi, hujan yang deras kini adalah tetesan
yang hampir kering, Pardi yang selama ini berawan mendung, menggilai pagi hari,
dan resah di saat malam, Pardi yang terus membuat hujan kini punya matahari,
matahari datang selambat anak kura –
kura, aku masih punya waktu untuk terus membuat Pardi semendung malam, dan
hujannya terus deras membasahiku, tapi melihat Pardi begitu aku iba, di saat
pagi hari ia datang padaku membawa
sarapan, sementara hatinya kelaparan, di malam hari ia datang membawa pelukan
untukku, di sakunya yang penuh pelukan itu, Pardi memilih kedinginan dan
memeluk hatinya sendiri, Pardi yang
hanya daun kering di atas jurang telah jatuh karenaku, di dalam jurang yang
pekat dan gelap itu, matahari menemukannya, bagaimana aku tahu di dalam jurang
ada matahari, sementara di sini hujan tak pernah berhenti karena Pardi, Pardi
membuat aku percaya bahwa derasnya hanyalah milikku. Matahari yang jalannya
lambat, merangkak, pastilah sampai pada tujuan, dia akan mengeringkan hujan di
hati Pardi, Pardi yang hatinya nelangsa kini mungkin bersuka cita, karena
mungkin matahari membuatnya juga merasa bahwa pelukan itu hangat, Pardi yang
tidak pernah di peluk itu, sekalipun menundukkan dingin, pastilah ingin
merasakan hangat juga bukan, Pardi yang kasihan, ini lah yang aku takutkan.
Beberapa
tetes hujan di hati Pardi yang tersisa sudah dapat ku hitung, waktunya hanya selingkar
banyak angka jam. Pardi, mungkin aku telah menjadi bodoh karena cintamu, aku
yang tegas tidak mencintaimu, kini hanya menerka – nerka bagaimana bisa
kedududkanmu kini adalah aku, Pardi, mungkin terlambat jika aku baru memulai
mempercayaimu, menerimamu, tapi jika aku tidak merasa kau akan terenggut,
hatiku tidak akan terbuka. Aku kini membuat hujan, memang barulah rintik –
rintik, namun pasti menderas, aku membuat hujan yang biasa – biasa saja, emang tidak
sehebat kamu Pardi, tapi itu tulus untukmu, namun hanya begitu saja sudah membuatku
nelangsa, mungkin jika aku adalah daun, tak perlu menunggu embun, sudah mati
dan terjatuh lebih dulu, aku tak sehebat kamu Pardi.
Aku
ini tegas memang, namun tegas tidaklah selalu benar dan selamat pada apapun,
bisa saja tegas juga membuat aku sampai pada kehancuran, aku menyesal pernah
terus mengingatkanmu bahwa aku tidak mencintaimu, sementara cintamu terus deras
menghujaniku, sekarang Pardi saat semuanya sudah terbalik, apa yang tetap kau ingat hanya “ aku tidak mencintaimu
“.
Matahari
merangkak dengan pasti, hampir sampai padamu Pardi. Di malam hari kau datang
padaku dengan biasanya memberi pelukan tanpa tubuh, di saku bajumu yang biasa
kulihat penuh, kini kosong melompong, “ pelukan yang kau berikan padaku malam
ini adalah pelukan terakhir yang kau punya kan Pardi ? “ aku bertanya, dengan
nada yang tertahan, bagaimana bisa aku yang tegas tidak mencintainya, bisa
meraskan sesak juga.
“
tidak Rani, akan ku buatkan lagi pelukan – pelukan untuk menjagamu, hanya saja
kini aku sedikit membeku “
“
Pardi, senja di langit tadi mencari – cari kamu, kamu sudah tidak lagi disana
bukan ? kau bergegas pergi kemana “
“
. . . “ dia hanya diam, wajahnya resah, air mata tertahan di kelopak matanya,
air mata yang membuat matanya berbinar.
“
Rani, ada yang mencintaiku, menawarkan kebahagian, tapi untukku hal yang paling
membahagiakan adalah mencintaimu, aku tidak ingin bolos dari derita yang
mengujiku, tapi ujian tetaplah ujian yang akan terus melahirkan duka yang
beranak – pinak, meski pada akhirnya memenangkan bahagia, namun sekeras apapun
aku mencintaimu Rani, dalam hatiku
sesungguhnya merindukan pelukan, melupakanmu adalah hal yang mustahil Rani,
sebab itu kau adalah hiasan yang penuh di ruang kepalaku, namun izinkan aku . . .“, kata –katanya belum
selesai, aku memotongnya, itu karena aku tahu apa yang akan ia lontarkan, ia
ingin meninggalkanku untuk menjaga bahagia.
“
dan itu sebabnya, ku lihat senja di matamu Pardi, senja yang merah keemas –
emasan, senja yang menawarkan perpisahan “
Barulah
kuraskan air mataku mengalir, membasahi pipiku dan hati yang kering, jika dulu
cinta yang deras dari Pardi membuat aku sesak, sekarang aku tenggelam dalam air
mataku sendiri.
“
Rani yang ku cintai, kau selalu pemilik singgasana di hatiku, kau ratu segala
hari, kau embun yang menyegarkan walau membuat
aku terjatuh, kau akan tetap engkau pemilik kuasa hatiku, siapapun,
sekalipun datang padaku seseorang yang mencintaiku sedemikian rupa, air mataku
akan tetap mengalir untukmu, dan karenamu Rani “.
“
Pardi yang bodoh, Pardi yang malang, sekarang kau tahu bukan, bahwa dicintai
itu adalah keberuntungan, kekuatan yang bisa mengalahkan apa saja, perlindungan
yang menundukkan luka, Pardi itu sebabnya aku tidak ingin kehilangan kamu. Tapi
baiklah, pergilah menujunya, ketempat dimana kau bisa menemukan pelukan,
meretakkan bekumu yang sekarat, kau
orang baik Pardi, Tuhan pun tak tega membuat kamu terus mencintai, itu sebabnya
Tuhan menghadirkannya untuk mencintaimu, Pardi ku izinkan kau untuk bahagia “. Mengeluarkan kata – kata itu seperti
mengundang bencana untuk melenyapkan semesta, kiamat kecil yang menghancurkan
kehidupan, Pardi yang bodoh, ia terbiasa menunggu saat senja, namun sekarang
mengapa dia begitu tergesa – gesa ingin bahagia, dan tidak bisa menungguku
untuk membahagiakannya, aku sedang mencintainya, perlu proses untuk menjadi
hebat sepertinya, aku bukan pecinta yang bodoh seperti dia, karena dulu aku
pernah tegas tidak mencintainya, dan menerimanya bukan sesuatu yang mudah, tapi
biar begitu aku ingin mencoba mencintainya tulus hanya untuknya, Pardi tidak
mengerti itu, karena Pardi bodoh yang
menggilai cintanya sendiri.
Air
mata kita tertahan malam itu, menderas di hati masing – masing, aku ingin
memeluknya, namun tak kuasa, Pardi yang sudah menemukan pelukan terhangat,
pastilah tak lagi kedinginan, di bandingkan pelukanku yang masih sesekali
membawa dingin. Ku simpan pelukan terakhir dari pardi, ku simpan di laci meja,
di atas ranjang yang di hinggapi dingin dan membuat ku menggigil, di saat angin
riak tertawa, menderu – deru di seluas kulitku, aku memeluk sendiri hatiku.
Hujan
yang dulu deras dari Pardi kini tinggallah jejak, semoga Pardi tidak lupa bahwa
ia pernah sangat bahagia membuat hujan itu, walau di hatinya nelangsa. Pardi
yang malam ini hanyalah sisa bayangan yang hitam kemudian hilang, dari
kepergiannya meninggalkan sesak dan duka, seisi kamar kini hanyalah sepi yang
menggantung menghias, tak ada Pardi yang datang di pagi dan malam hari, tak
juga yang menunggu saat senja, Pardi mungkin tengah resah memilih terus
menghujaniku dengan cinta dan nelangsa, atau bergegas mengikuti matahari, namun
apapun itu ia akan sampai pada bahagia.
Tak
ada lagi Pardi, dimana rimbanya pun aku tak tahu, Pardi menghilang tanpa kata –
kata selamat tinggal, Pardi yang sudah
bahagia mungkin sedang terlena menikmati pelukan.
Pardi.
Jika kau membaca surat ini mungkin aku
sudah jatuh kedalam jurang yang kau pernah disana, di sini sunyi, pekat, gelap
dan sepi ya Pardi, ternyata disini kita dapat mendengar suara – suara dalam
hati, telingaku kini tuli Pardi, suara – suara hati telah memecahkan gendang
telingaku, sekarang aku mengerti Pardi, kau begitu kesedihan, kau begitu
kesunyian, sepanjang mencintaiku, yang kau perjuangkan hanya terbalas oleh
kehampaan, Pardi yang sedang bahagia, ya boleh kan ku hakimi kau demikian,
sebab bertahun – tahun lamanya kau tak lagi datang padaku. Pardi pelukan
terakhir yang kau berikan tak ku pakai, aku memilihnya untuk mewakilimu menemaniku, karena itu, Pardi, angin dan dingin berhasil membekukanku, aku
tak sehebat kamu yang bisa bertahan
Pardi, memeluk hati sendiri sebuah kesengsaraan, kini aku bandul jam yang
kehilangan detaknya. Aku meninggalkan
seisi kamar yang masih memelihara hangat pelukanmu, merdu suaramu, yang
sesekali merobek – robek hatiku, aku tak mau Pardi jika adegan – adegan itu
merobek pula ingatanku, aku ingin terus mengingatmu sepanjang hayat sebagai
satu – satu nya perlambang bahwa aku pernah sangat bahagia karena di cintaimu.
Pardi aku kini sekarat, tinggal menepi di bawah jurang yang penuh dengan
kesunyian, dengan pelukan terakhir darimu yang selalu ku bawa – bawa, pelukan
yang ku sematkan sebagai sejarah yang di tinggalkan masa itu, aku kedinginan Pardi, tapi aku tetap tak
ingin mengenakannya, aku tak ingin bergegas kemanapun, sekalipun berjuta – juta
matahari mengangkatku dari kegelapan, aku memilih menemani sejarah, merayakan
penyesalan dengan begitu khidmat. Aku dan kau sama – sama tahu ya Pardi, bahwa
di dunia yang serba kecil ini mustahil ada yang sejati, namun aku menemukannya
Pardi, sesuatu yang sejati adalah ingatan yang di buku kan dalam sebuah pelukan
dan adegan – adegan yang di tinggalkan.
Jika aku sudah mati, dan kau menemukan bangkaiku yang tengah menggenggam
pelukanmu, aku harap itu akan mengingatkanmu bahwa kau pernah luar biasa
mencintaiku. Pardi yang bodoh, aku ingin kau lupa bahwa aku tidak mencintaimu.
Ku
masukkan surat ku kedalam botol kaca, ku tepikan di pinggir laut, ku lihat
botol berisi surat itu terombang ambing
di punggung ombak, kemanapun lautan membawanya, siapapun yang membacanya, akan
menjadi saksi bahwa aku, Rani, sudah mencintai Pardi.
Bogor, 9 Maret 2014
Untuk kha risman yang sudah menemukan pelukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar