Rabu, 08 Oktober 2014

Sepotong Surat untuk Ayah di surga

Untuk Ayah di Surga




Ayah di surga, apa kabar ?
tentu ingat aku kan ? gadis kecil yang pernah kau pangku sambil begitu senang, memang tidak begitu lama kau menimang-nimang aku, bagiku 4 tahun bersamamu adalah waktu yang singkat yang diberikan Tuhan, ah tapi karenanya aku belajar memahami kehilangan, kehilangan tidak memiliki rencana kan Ayah ? karena itu, ku penuhi seisi dadaku dengan puisi, biar kehilangan tak di kunjungi sepi.

lalu selepas kepergianmu, semua tidak begitu baik, mataku seketika menjelama semesta dengan hujan yang abadi di dalamnya, dadaku sesak begitu menyesak, sedang hatiku penuh rindu yang tak kunjung usai.
sepanjang malam, mimpi-mimpi tak pernah membawamu, seolah tak mengizinkan temu, lalu aku memilih terjaga dari kantuk, memilih membaca berulang-ulang kenangan yang ku miliki seadanya.
aku pengingat yang buruk Ayah, maafkan untuk itu, demi mengingatmu, aku belajar memeluk diksi sebuah puisi, di dalamnya aku mengabadikan engkau Ayah, dan demi mengingatmu, aku belajar karib dengan kuas juga kanvas, di dalamnya aku mencoba menyimpan ingatan wajahmu yang teduh dan sendu.

sekarang aku menjelma gadis dewasa, aku punya sahabat, aku punya seseorang selain engkau yang sesekali aku rindukan, tapi mereka seperti engkau Ayah, yang datang kemudian hilang, aku belajar kehilangan darimu Ayah, aku paham, bahwa setiap orang tak memiliki nama selain singgah, semua hal di dunia ini bukankah berjalan beriringan ? kesedihan dan kebahagiaan, suka dan duka, debar dan sesak, dan masih banyak lagi.


Tuhan menempatkan aku di sebuah jalan yang penuh liku, dimana terkadang aku perlu mengayuh demi sampai, terkadang butuh memanjat, sesekali melompat, tapi aku tidak pandai bersembunyi dari luka, mataku tak punya cara terbaik menahan gerimis, sekalipun aku pandai memeluk kehilangan, Ayah, sesekali aku juga menangis, sebab di dadaku semua sesak tak lagi bisa ku redam, seolah dadaku penuh lautan, aku tak bisa bernafas, aku tak bisa menahan sebuah pintu yang terbuka, di mana kesepian berdiri di depan pintu untuk masuk. Aku pendusta yang tak pandai Ayah, sesekali mungkin memang aku berhasil melewatinya, namu tak jarang Ayah aku kerap kali tak setabah puisi.

Ayah, maafkan untuk itu, untuk kelemahan yang tak bisa setabah yang ku andaikan, maaf jika gerimis di mataku sampai padamu adalah hujan yang deras, sebab sekalipun selepas pergimu kita tak pernah bertemu, aku selalu merasa engkau terus melihatku, entah itu matamu atau mata doa, aku selalu percaya bahwa di rumah Tuhan siapapun bisa berdoa, sebab itu, luka sekecil apapun yang memelukku, memelukmu juga.
maafkan untuk itu Ayah.

sepotong surat ini ku tulis demi menyampaikan padamu, bahwa aku di sini baik-baik saja, meski kerap kali luka memelukku lebih mesra, namun,,,tak apa, Ayah tak usah khwatir, aku pandai merawatnya, biar ku maknai luka sebagai aneka kecil dari ujian, di mana aku pasti memenangkannya.




Dari yang merindukanmu

            Doa

1 komentar:

  1. Langkah berat menyusuri jalan-jalan itu
    Aku menyusurinya sendirian tanpamu
    Aku melangkah dengan gontai
    Mengingat segala cita-cita belum terwujud bersama

    Namun suatu saat kita akan dipertemukan kembali
    Kita akan bersatu kembali di surga-Nya
    Kita akan tertawa bersama-sama lagi
    Dan kita akan bahagia bersama lagi.

    Aku merindukan ayah
    Aku kirimkan rinduku
    Bersama dengan doaku
    Untukmu, Ayah, pahlawan hidupku.

    BalasHapus