Senin, 13 Oktober 2014

Perahu yang singgah

" sebab kekasih, sepi dapat menjelma apa saja, semisal detak jam yang berbunyi persis seperti nyeri "





Aku suka sekali melukis senja, dengan jingga dan warna langit yang keemas-emasan, seperti melukis sebuah perpisahan yang sendu, dengan sebuah perahu yang pulang menuju matahari dan tenggelam.

Sore ini senja sedang cantik-cantiknya, dan aku melukis di samping dermaga, masih dengan tema yang sama, namun kali ini ada yang berbeda, dari jauh sebuah perahu mengayuh mendekat ke sini, seseorang tepat berdiri di atasnya, aku melukis apa yang ku lihat, sebuah perahu yang datang bukan dari imajinasiku sendiri, melainkan dari tempat yang entah apa namanya.

" Permisi mbak, boleh saya tahu ini di mana ? " laki-laki yang turun dari perahu itu bertanya.
" nganu mas...em.....desa singgah mas " , aku menjawabnya dengan gugup, sebab senyumnya seketika membuat dadaku sesak.

" kalau boleh saya tahu, dari desa singgah ke kota Nara berapa lama lagi ya ? "

" Kota Nara ? mas mau ke sana ? saya tidak tahu mas, seluruh penduduk sini selalu bermimpi pergi ke sana, hanya beberapa orang saja yang sudah pernah, kalau mas mau ke sana, mungkin butuh waktu yang lama, tapi bisa saja sampai dengan waktu yang cepat, lebih tepatnya, mas bisa sampai sesuai yang mas mau " , jawabku, sambil bertanya-tanya mengapa seorang laki-laki yang datang bersama perahu itu mau pergi ke kota Nara seorang diri.


" Tapi mengapa setiap penduduk di sini bermimpi ke sana, semestinya siapapun bisa, siapapun punya perahu ? kamu sendiri pernah ke sana ?", tanyanya penasaran.

" Kota Nara. Kota kebahagiaan, konon orang pertama yang menemukannya datang dengan seseorang yang ia cintai, mereka memberi nama kota itu dengan kota nara, di ambil dari bahasa Yunani yang artinya bahagia, mereka hidup bersama-sama hingga akhirnya mati bersama di sana. Siapapun memang semsetinya bisa pergi ke sana, tapi penduduk di sini tak pandai berenang, termasuk saya, di perjalan, akan selalu ada badai dan ombak yang besar, karena itu sekalipun ada yang pernah ke sana, mereka tidak pergi sendiri."

" memang tak ada yang menemanimu pergi ke sana ? ".

" beberapa kali seseorang datang, mereka mengajakku, namun ketika aku siap, mereka pergi begitu saja meninggalkan aku, maka dari itu, sampai saat ini aku tidak tahu kota Nara seperti apa ".

Ia tak membalas ucapanku, hanya memandang wajahku yang kelelahan. matanya indah meski sendu, ada senja di matanya yang lebih indah dari pada senja yang ku temukan di dermaga, langit di matanya lebih jingga dan keemas-emasan di bandingkan langit yang ku pandang di atas kepala, semenjak hari ini, matanya adalah semesta yang ingin ku tuju selain dari kota Nara.

" Kau suka melukis senja ? ", tanyanya seraya memecah lamunanku.
" ah...iya, namun tak begitu pandai ".
" kau suka sekali senja ? kenapa ?".
" suka sekali, entah kenapa, sampai saat ini pun aku belum tahu, yang pasti aku selalu datang ke sini, menunggu senja dan melukisnya ".
" ah itu seperti perahuku ", ucapnya sambil menunjuk ke arah lukisanku.
" ah heheh iya, itu perahumu, aku melukisnya, tak apa kan ? aku suka perahumu yang seolah muncul dari cahaya matahari ".
" ahahahhahahahha tak apa, melukislah apapun yang kau lihat, itu indah sekali, ya seperti hal nya kau, aku pun mencintai perahuku, ia menemaniku ke mana pun, oh ya, aku memberi nama perahuku, kau mau tahu ? ".
" apa ? ".
" waktu ..".
" waktu ? kenapa harus waktu ? ".
" sebab waktu adalah segalanya, aku selalu menggunakan perahuku di saat waktu yang tepat menurutku ".
" ah..kau ini, ada-ada saja, oh iya namamu siapa ? ".
" ah... iya hampir lupa berkenalan, perkenalkan namaku Panji, kau sendiri ?".
" Ambar ".
" Ambar, nama yang cantik, oh ya...ngomong-ngomong ada penginapan di sini ? saya cukup lelah kalau harus melanjutkan perjalanan menuju kota nara ".
" kebetulan sekali mas, saya memiliki penginapan, mari saya antar ".
" mari Ambar, terimakasih sebelumnya ".
" Terimakasih kembali mas Panji ".


kami berjalan meninggalkan dermaga, senja pun pulang, langit kian mengabu dan semakin hitam, sepanjang perjalanan menuju penginapan, laki-laki itu memperhatikan beberapa orang yang sedang memeluk tubuhnya sendiri, dengan hujan yang deras mengalir bukan dari langit melainkan mata mereka, bibir laki-laki itu terkatup, matanya terbuka lebar, seolah tak percaya apa yang ia saksikan. pandangan laki-laki itu berpaling menuju dermaga, di mana ada seorang wanita yang mengikatkan tubuhnya di bawah perahu, sedang seorang laki-laki bersama wanita lain turun dari perahu dengan wajah yang berseri.

" kau ingin tahu bukan, mengapa ada seorang wanita mengikatkan tubuh di bawah perahu milik seseorang ? ", tanyaku.
" iya, aku tak paham kenapa harus seperti itu ". jawabnya sedikit bingung.
" wanita yang mengikatkan diri di bawah perahu itu adalah Rani, sahabatku, dan laki-laki yang turun dari perahu bersama wanita lain adalah Kasmir, kekasihnya. Sudah ku bilang pada Rani untuk berhenti mencintainya, tapi dadanya begitu lapang, katanya, sebesar apapun luka masih sanggup ia simpan di dadanya, sebab itu kemana pun Kasmir pergi, dengan siapapun, ia pasti akan menemani. sudah bertahun-tahun Rani seperti itu, sepanjang hari, Rani selalu berharap bahwa ia akan menjadi mejikuhibiniun-nya Kasmir, serupa pilihan kedua, ah Rani tidak berharap apapun selain selalu di ingat Kasmir ketika tak ada yang datang padanya saat ia begitu membutuhkan, Rani selalu ingin di butuhkan. ah kau tak akan bisa membayangkan betapa maha lukanya hati Rani yang lapang ". jelasku, Panji terdiam, matanya sendu semakin sendu, mungkin ia sedang mencoba merasakan apa yang Rani rasakan.

" Sudah sampai, tidurlah, istirahatlah, matamu butuh lelap, besok ku bangunkan biar kau tak terlambat menuju Kota Nara ".
" Baiklah, Ambar, terimakasih".

Aku tersenyum kepadanya, begitu pun ia, matanya terpejam, wajahnya seolah mengatakan lelah, aku mengintip di balik pintu yang sedikit terbuka, begitu pun kiranya dengan hatiku, mungkin matanya yang sendu sudah menemukan jalan menuju hatiku, tapi ia hanya singgah, besok ia akan pergi, ke kota Nara seorang diri, " seorang diri ? ", ia pergi seorang diri ? bagaimana jika ia tak bisa berenang ? bagaimana jika badai dan ombak besar menelan perahunya dan dia tenggelam, bagaimana jika ia tak pernah sampai ke kota Nara ?, bagaimana jika aku mencintainya dan tak ingin kehilangan ?. Ah...dadaku sesak semakin sesak, seluruh tanda tanya penuh di kepala, apa yang harus aku lakukan ? membangunkannya pagi hari dan mengucapkan selamat tinggal ? ahhhh tidak, tidak mungkin aku mencintainya, ia hanyalah orang asing yang singgah karena lelah, aku bukanlah siapa-siapa, lagi pula tak mungkin hanya karena setengah hari ia bisa mencintaiku juga, hatinya mungkin tak seajaib hatiku, yang tak membutuhkan waktu lama demi jatuh cinta.



pukul satu, siang hari, ya.. aku memilih tak membangunkannya, karena ia terlihat begitu kelelahan, di samping itu aku masih ingin ia di sini, melihatku melukis, mendengar ceritaku tentang kota Nara dan desa singgah, aku masih ingin melihatnya sekali lagi, sebelum akhirnya ia pergi menuju kota Nara.


" selamat siang, kau tidak membangunkanku ? ah aku sudah terlambat, Ambar boleh aku menginap beberapa hari lagi di sini ? ".
" kau tak marah ? maaf aku pun baru saja bangun, ahhh kau ini, kenapa tidak, tinggalah sesuka yang kau mau ".
" Terimakasih Ambar, jadi hari ini kau ingin melakukan apa ? ".
" Pergi ke dermaga, dan melukis, kau mau ikut ?".
" ah boleh, senang sekali bisa menemani dan melihatmu melukis sekali lagi ".


lalu kami pergi bersama menuju dermaga, senja masih secantik kemarin, masih berseri-seri. Aku mulai melukis senja, dengan sebuah perahu yang bertengger di ujung pantai, perahu milik Panji, yang pagi ini terpaksa tak berlayar, karena pemiliknya sengaja tak ku bangunkan.

" Aku suka melihat perahumu di sana panji ", ucapku.
" :) ", ia hanya tersenyum membalas ucapanku, matanya terus memandang kanvas, sesekali mengikuti gerak jariku yang menari-nari bersama kuas.
" kau melukis senja di mana ? yang ini tak seperti senja yang kita lihat sekarang".
" Aku melukis senja yang terpantul dari matamu, di sana, jika kau bisa lihat, kau punya senja paling indah dari senja milik Tuhan, aku melukisnya, memang tak bisa seindah yang ku lihat.".
" sebenarnya, jika akupun bisa melukis sepandai kamu, akan ku lukis senja yang serupa, senja yang ku lihat dari matamu juga ".

kami kembali tersenyum, matanya sendu semakin sendu, matanya berbahasa seolah memintaku memaksa menahannya tinggal, kemudian tanganya menggenggamku, ahh semoga ia merasakan bahwa jantungku bekerja lebih giat dari biasanya, ada debar yang maha getar. seketika, bibirnya sampai pada bibirku, rasanya seperti menyesap sebuah anggur, manis dan memabukkan, ciuman yang begitu tergesa-gesa, ciuman yang membuat semesta sekejap gelap-sekejap terang. Ah Tuhan, aku jatuh cinta ( lagi ).


Tiga hari berlalu, selama bersamanya banyak yang diingat semesta, tentang bagaimana ia datang seperti orang asing, mencari sebuah penginapan, memuja-muji lukisanku, dan kemudian sampai pada menciumku dengan begitu tergesa-gesa, ciuman yang tak bisa ku jelaskan dengan kata, ciuman yang membawaku tenggelam. Sampai pada akhirnya, ia memutuskan pergi menuju kota Nara, kota tujuannya.

" Ambar, aku pamit menuju kota Nara ".
" Tunggu, aku ikut ".
" Tidak Ambar, aku akan berangkat sendiri ".
" Tak ada yang selamat jika pergi sendiri Panji, aku harus bersamamu, kau pun tahu aku sangat ingin pergi ke sana ".
" Ambar, aku ke sana untuk menjemput seseorang ".
" Panji, apakah menurutmu singgah di sini adalah waktu yang tepat ? ".
" Tidak Ambar, maafkan aku, aku hanya merasa sangat lelah, aku butuh istirahat, sampai akhirnya aku bertemu kamu dan ingin lebih lama tinggal, maafkan aku Ambar tak seharusnya aku memutuskan lebih lama menginap di sini, tak seharusnya aku terus berlari menuju hatimu, Ambar maafkan aku, aku harus pergi menuju kota Nara, seseorang sudah menungguku lama sekali ".
" Mengapa kau tak mengatakannya dari awal Panji ? mengapa kau membiarkan aku mengizinkan kau lebih lama lagi tinggal ? mengapa kau harus pergi ketika aku mulai mencintai kamu ? sunggu aku tak ingin kehilangan, aku mau selamanya kau di sampingku, dan kita akan pergi ke Kota Nara bersama-sama, Panji aku ingin ke sana bersamamu. ", dadaku sesak, matanya yang sendu seolah menusukku, aku ingin sekali menahannya, tapi tubuhku tak bisa apa-apa.
" Ambar, sungguh maafkan aku, aku harus pergi, sebab aku pun sudah tahu, aku cinta kamu Ambar, dan tak ingin lebih jauh menikmatinya, seseorang di sana sedang menungguku dengan penuh harap, aku tak mungkin begitu tega mematahkan hatinya dengan tidak datang, sungguh hatiku sudah bercabang, aku tak ingin meninggalkanmu dengan perasaan yang menggebu-gebu, sungguh Ambar aku bahagia mengetahui kau juga mencintaiku, tapi aku tak memiliki kesiapan memilikimu, sedang ada tempat lain yang harus ku tuju, Ambar sekalipun kau adalah singgah, kau adalah singgah yang suatu saat nanti aku ingin mati dan selamanya di sana, kau adalah singgah yang di sanalah ku simpan hatiku. Ambar maafkan aku, aku tak bisa di sini lebih lama lagi, aku harus pergi, Ambar sekali lagi maafkan aku." ucapnya masih dengan mata yang sendu dan merah.

aku tak lagi mampu mengucapkan apa-apa, belum usai tawa kemarin aku harus menangis hari ini, aku selalu gagal belajar membaca perasaan waktu, hingga kehiangan tak bisa ku tebak kapan datangnya sebab itu aku tak memiiki kesiapan menyambut sepi.

" Panji, aku mencintaimu, sungguh, aku pun tak ingin kehilanganmu, sungguh, tapi sebab aku mencintaimu, kau ku izinkan pergi, kau ku izinkan menjemput harapan lain, ku izinkan kau ke kota Nara, tapi tak ku biarkan kau seorang diri, Panji aku akan seperti Rani, mengikatkan tubuhku di bawah perahumu, jika badai menelan perahumu dan kau tak bisa berenang, aku akan menjadi tubuh yang mengangkatmu kembali ke daratan, kau tak bisa menahanku Panji sebab aku mencintaimu, dan aku harus menjaga keselamatanmu. Panji yang ku cintai, aku paham betapa ada seseorang yang lebih luka dari pada aku jika kehilanganmu, aku paham kau ke sana sebab tak ingin melukai seseorang yang sudah lama menunggumu, maka pergilah Panji, aku pandai merawat luka, sekalipun sesekali aku menangis, maafkan untuk itu. Aku akan meniru tabah matamu Panji, yang tak menerjemakan apapun, padahal melepasku pun adalah luka, pergilah, nanti kau terlambat. ". jawabku dengan air mata yang jatuh perlahan-lahan.


" Ambar, jangan menangis, aku mohon, itu membuatku semakin tak ingin pergi, Ambar kau harus bisa tanpaku, kau bahagia saat aku belum datang, kau pun harus bahagia ketika aku pergi, Ambar ku izinkan kau melupakan aku jika itu membuat air matamu berhenti, jangan menangis Ambar, hatiku luka melihatnya.".

" Panji, minta apa saja padaku, akan ku kabulkan, asal jangan memintaku untuk melupakan, ingatan adalah satu-satunya tempat yang rela merawatmu, di sanalah kau abadi, sedang aku tak bisa berjanji jika kau memintaku berhenti menangis, sebab Panji, selepas kepergianmu, mataku menjelma semesta dengan hujan yang abadi, aku tak pandai menahan gerimis yang deras dari sana, tapi aku berjanji Panji, aku akan pandai merawat luka, dan sepi, sekalipun sepi dapat menjelma apa saja, semisal detak jam yang berbunyi persis seperti nyeri. Panji, tutup matamu, biar tak lagi kau lihat rupa-rupa luka yang di terjemahkan mataku, pergilah sekarang, jangan biarkan dia menunggu lebih lama lagi, dia bisa menagis seperti aku, nanti hatimu semakin luka ".

aku membantunya merapihkan barang-barang, sambil sesekali mengusap dadaku yang nyeri, ia terus memandang mataku, ia begitu takut ada gerimis yang jatuh lagi, ia memelukku lebih erat dari biasanya, ia menciumku dengan lembut dan tidak tergesa-gesa seperti biasanya, ia memandangku lebih lama, ia tersenyum sambil memintaku mengantarnya menuju perahu.

" Ambar yang ku cinta, terimakasih sudah menjagaku, mengizinkanku tinggal, Ambar yang ku sayangi berjanjilah kau akan bahagia tanpaku, kau akan bahagia."


matanya sendu semakin sendu, di sana semesta dengan senja paling cantik dan abadi hanya milikku, ku pandang lebih lama biar semakin lekat dalam ingatan, aku berhenti melukis senja, terakhir aku melukis senja dari semesta di dalam matanya, kanvasnya ku gulung, dengan selembar puisi yang semalam ku tulis untuk Panji, ku berikan selembar puisi ke padanya yang ku pinta padanya untu membaca ketika sampai, sedang lukisan itu ku genggam. ku ikat tubuhku di bawah perahu milik Panji. dan kami berlayar menuju kota Nara.



okt, 2014

Panji yang ku cintaibagiku kehilangan seperti sebuah arloji yang mati, aku tak mengenal waktu juga hari esoksedang bagiku rindu seperti iman, dan namamu adalah rukun iman terakhir di mana hanya akulah yang menunaikannya

Panji yang ku cintaiku tulis puisi ini untukmu, puisi terakhir yang ku tulis penuh lukatapi tak apa , Panji, aku memaafkanmu, dadaku adalah maaf yang lapang, meski kau lukai berkali-kali

aku mencintaimu, sebab itu, Panji, aku menjelma segala doayang senantiasa menyertai setiap kamu di mana sajaaku terus melihatmu, akan terusmeski lewat doa yang khusyuk

Panji yang ku cintaiku tulis puisi ini, puisi terakhir buatmuyang kalimatnya tak lain adalah rerimbun rindu yang tumbuh di dadaku yang lukakarenanya aku berharap, kau akan merawat ingatanmusebab kehilangan tak seperih di lupakan, Panji.

Panji yang ku cintaiAdalah kita, ciuman yang begitu tergesa-gesaAdalah kita, senja-senja yang menawarkan perpisahan
Panji yang ku cintaidi manapun kamu, aku ada di dalammumeski sudah tiada.

2014Untuk Semestaku, Panji.





P.S : Ambar, aku sudah sampai, karenamu, terimakasih Ambar, berkatmu aku di sini tak lagi membuatnya menangis, terimakasih telah menyelamatkanku dari badai, membawaku ke daratan, sedang kau harus terluka, tubuhmu tenggelam selepas menyelamatkanku, terimakasih Ambar kau begitu mencintai denganl luga, cintamu seperti seorang kanak yang tak takut apapun. Ambar aku sudah sampai di Kota Nara, semoga kau pun sampai, aku sudah menjemputnya, ia tak menangis, ia bahagia melihatku, semoga kau pun, Ambar maafkan aku, sebab hatimu harus terluka karena ku cintai.
tidakkah aku terlihat seperti Kasmir ? dan kau seperti Rani yang rela mengikatkan tubuhnya di bawah perahu demi menjaga seseorang yang dia cintai, maafkan aku Ambar.
aku membaca puisimu dengan menangis, sedang kau menulisnya dengan berdarah-darah, aku membacanya sambil mengingat kamu, betapa kau pernah di sampingku, betapa kita pernah sama-sama bahagia, maafkan aku sekali lagi Ambar yang cantik, Ambar yang ku cintai, Ambar yang ku sesali ku lepaskan, maafkan aku, maafkan aku.
seperti kamu Ambar, aku berjanji merawat ingatanku, ingatanku milikmu selamanya, tempat yang hanya ku sediakan untukmu.

Ambar, aku mencintai, dan terimakasih sudah melepasku.



2014
Untuk Ambar





Aku sudah tenggelam tepat di atas kota Nara, mengantarnya menuju kebahagian adalah pengorbanan yang ku yakini di puja-puji Tuhan, tidakkah Tuhan pun akan menangis ?
Panji yang ku cintai sudah memeluk yang lain, semoga pelukkan yang lain tak menghapus hangatnya pelukanku, Panji yang ku cintai sudah mencium bibir lain, dan semoga tetap bibrku yang ia kenali.
ada sebuah botol kaca, dengan selembar kertas, aku baca dan aku menangis sambil memeluk tubuh sendiri, rupanya ini adalah surat yang di tulis Panji buatku.

Panji, di sini begitu sepi, di sini begitu dingin, di sini begitu sesak, di dadaku ada lautan yang lebih dalam dari ini, membuat tidak bisa bernafas, Panji andai kamu di sini.






2014
Untuk laki-laki harmonika




Rabu, 08 Oktober 2014

Sepotong Surat untuk Ayah di surga

Untuk Ayah di Surga




Ayah di surga, apa kabar ?
tentu ingat aku kan ? gadis kecil yang pernah kau pangku sambil begitu senang, memang tidak begitu lama kau menimang-nimang aku, bagiku 4 tahun bersamamu adalah waktu yang singkat yang diberikan Tuhan, ah tapi karenanya aku belajar memahami kehilangan, kehilangan tidak memiliki rencana kan Ayah ? karena itu, ku penuhi seisi dadaku dengan puisi, biar kehilangan tak di kunjungi sepi.

lalu selepas kepergianmu, semua tidak begitu baik, mataku seketika menjelama semesta dengan hujan yang abadi di dalamnya, dadaku sesak begitu menyesak, sedang hatiku penuh rindu yang tak kunjung usai.
sepanjang malam, mimpi-mimpi tak pernah membawamu, seolah tak mengizinkan temu, lalu aku memilih terjaga dari kantuk, memilih membaca berulang-ulang kenangan yang ku miliki seadanya.
aku pengingat yang buruk Ayah, maafkan untuk itu, demi mengingatmu, aku belajar memeluk diksi sebuah puisi, di dalamnya aku mengabadikan engkau Ayah, dan demi mengingatmu, aku belajar karib dengan kuas juga kanvas, di dalamnya aku mencoba menyimpan ingatan wajahmu yang teduh dan sendu.

sekarang aku menjelma gadis dewasa, aku punya sahabat, aku punya seseorang selain engkau yang sesekali aku rindukan, tapi mereka seperti engkau Ayah, yang datang kemudian hilang, aku belajar kehilangan darimu Ayah, aku paham, bahwa setiap orang tak memiliki nama selain singgah, semua hal di dunia ini bukankah berjalan beriringan ? kesedihan dan kebahagiaan, suka dan duka, debar dan sesak, dan masih banyak lagi.


Tuhan menempatkan aku di sebuah jalan yang penuh liku, dimana terkadang aku perlu mengayuh demi sampai, terkadang butuh memanjat, sesekali melompat, tapi aku tidak pandai bersembunyi dari luka, mataku tak punya cara terbaik menahan gerimis, sekalipun aku pandai memeluk kehilangan, Ayah, sesekali aku juga menangis, sebab di dadaku semua sesak tak lagi bisa ku redam, seolah dadaku penuh lautan, aku tak bisa bernafas, aku tak bisa menahan sebuah pintu yang terbuka, di mana kesepian berdiri di depan pintu untuk masuk. Aku pendusta yang tak pandai Ayah, sesekali mungkin memang aku berhasil melewatinya, namu tak jarang Ayah aku kerap kali tak setabah puisi.

Ayah, maafkan untuk itu, untuk kelemahan yang tak bisa setabah yang ku andaikan, maaf jika gerimis di mataku sampai padamu adalah hujan yang deras, sebab sekalipun selepas pergimu kita tak pernah bertemu, aku selalu merasa engkau terus melihatku, entah itu matamu atau mata doa, aku selalu percaya bahwa di rumah Tuhan siapapun bisa berdoa, sebab itu, luka sekecil apapun yang memelukku, memelukmu juga.
maafkan untuk itu Ayah.

sepotong surat ini ku tulis demi menyampaikan padamu, bahwa aku di sini baik-baik saja, meski kerap kali luka memelukku lebih mesra, namun,,,tak apa, Ayah tak usah khwatir, aku pandai merawatnya, biar ku maknai luka sebagai aneka kecil dari ujian, di mana aku pasti memenangkannya.




Dari yang merindukanmu

            Doa