Selasa, 19 Agustus 2014

MANEKIN

“ Dan diam, adalah bahasa yang di pahami alam, hanya diam “





Aku bisa jatuh terlena, menikmati aroma tubuhnya yang di bawa angin ketika ia melewatiku, aroma lehernya seperti jeruk, menyegarkan, dan bisa saja aku mulai bergairah ketika dia mengerayangi pakaianku, menyentuh kulit tanganku hingga paha, jarinya yang lembut membuat aku hampir saja berimajinasi bercinta dengannya disaat toko sudah tutup, menikmatinya di sekelilingku dengan khidmat membuat aku hampir saja tertangkap basah sedang mengikuti geraknya dengan mataku, ahhhh rasanya aku ingin sekali bertanya siapa namanya, kemudian saling bercakap – cakap banyak hal, mengenai semua hal tentang keduanya yang sama – sama ingin di ketahui, saat malam semakin larut, kata – kata menjelma gerak, ciuman – ciuman mengambil peran pertama. Aku sadar betul di sampingku, manekin laki – laki bergaya kantoran itu sedang memperhatikanku, mungkin ia risih akibat gerak – gerikku yang  bisa saja membahayakannya, tadinya aku tak mau ambil pusing, tapi aku berfikir mungkin benar juga jika seharusnya aku menjaga sikap, apa jadinya nanti jika pengunjung toko menangkap basah sebuah manekin bergerak atau orgasme.
Sudah tiga hari ini laki – laki itu datang ke toko tanpa membeli satu helai pakaian pun, dia hanya melihat – lihat manekin laki – laki di sebelahku, sesekali dia iseng meraba – raba aku dengan mata yang tetap memandangi harga jas  yang di pasangkan pemilik toko di kerah jas manekin disampingku, aku  nikmat bukan kepalang, bagaimana tidak jarinya menekan – nekan pahaku, apa dia tidak berfikir bahwa aku ini hidup, walau jasadku hanya sebuah patung beku dan kaku, yang bisa saja rusak, tapi jiwaku tetap hidup, jiwaku hal yang sakral dan nyata, merasakan segala nyeri dan bahagia, kecewa juga menyesal, tak terkecuali nikmat yang di alirkan jari – jarinya di atas kulitku, tapi benar, dia mana mungkin mengetahuinya, bergerak sedikit pun aku tidak melakukannya, mungkin sesekali hanya mataku, itupun jika tak ada pengunjung yang berada di sekitarku, itu sebabnya mungkin dia semakin asik mendamparkan lengan dan jemarinya di kulitku, atau mungkin dia sedang berimajinasi andai aku hidup dan ia ingin bercinta denganku, karena tidak bisa di pungkiri, meskipun aku sebuah manekin, tubuhku tak kalah sexy dengan wanita hidup, mungkin aku lebih sempurna, tubuhku tinggi langsing, dada ku besar padat, pinggang ku kecil, bokongku bulat sempurna, walau terbungkus pakaian bersegel harga, tubuhku membentuknya sempurna. Dia melenggang pergi menuju sebuah coffee house di sebrang toko ini, mataku membuntuti, beruntungnya aku karena  tak ada satupun penghalang yang bisa menghilangkan bayangannya, aku terus melihatnya hingga masuk, memesan, dan menikmati secangkir coffee, dia duduk hanya seorang diri, aku mulai lagi berimajinasi, andai tak ada yang peduli aku ini hidup, sehingga takan ada satupun yang terkejut jika aku bergerak, aku akan menemaninya, minum coffee bersama sambil membicarakan hal yang menyenangkan, pastilah membahagiakan, tapi kembali lagi pada dunia nyata, aku ini hanya sebuah manekin, dan hanya jiwaku saja yang dapat mengelana.
Dia memandang kesini, melihat lagi manekin di sampingku, mengeluarkan dompet dari sakunya, mengintip, melihat lagi kesini, lalu melenggang pergi, aku penasaran apa yang sebenarnya dia cari, apa alasan dia kesini, memandang dan kemudian pergi begitu saja, sungguh itu hal yang membuat aku gila, bagaimana tidak, aku jatuh cinta kepada seorang laki – laki yang entah apa alasannya datang berkunjung ke toko ini, dan akibat dari perbuatannya itu membuat aku tergila – gila sampai hampir gila. Malam sudah larut, senja pulang dan tidur, malam siaga menjaga alam, bintang dan bulan mulai bersaing berdandan, yang menor adalah yang cantik, bukankah manusia lebih menyukai riasan bintang dan bulan yang menor, sehingga cahayanya menyita mata – mata untuk menikmati pesonanya, lalu apa yang terjadi pada riasan bintang yang di poles bedakpun tidak, ia redup, ia terabaikan, ia di anggap tak ada, tapi ia ada, dengan cahaya yang meletup – letup, nyala, padam, nyala, padam, kemudian mati, tapi itulah hidup, keseimbangan yang takan pernah seimbang.
Laki – laki itu baru saja keluar dari coffee house sebrang toko, ia menatap kesini kemudian mendekati, tunggu, ia menatap aku, kali ini ia menatap aku, tepat di mataku, bagian tubuh yang selalu menjadi yang paling bodoh belajar berdusta, lalu ia menatap lagi manekin sebelahku, ah aku benar – benar kesal, apa yang kurang menarik dariku, yang membuatnya lebih memilih memandangi berulang kali manekin kaku bergaya kantoran di sebelahku itu. “ Uang ku masih tak cukup “ gumamnya lirih, aku menemukan alasannya mengapa dia selalu saja datang kesini, dia mau membeli jas yang di peragakan manekin sebelahku namun uangnya masih belum cukup untuk membeli. Dia bersandar di kaca toko, kemudian duduk di teras jalan, tak ada penghangat yang dia kenakan, jaket atau semacamnya, padahal cuaca sedang dingin – dinginnya, angin sedang jatuh cinta dan kasmaran kepada dedaunan, sebab itu angin berlari –lari kencang, hembusannya membuat daun – daun menari dan melihatnya demikian membuat angin kehilangan arah, namun mereka tetap sepasang kekasih yang saling mengisi juga melengkapi. Lengannya memeluk tubuh sendiri, dari mulutnya keluar hembusan uap – uap akibat dingin, dari sini, dari jarak yang bisa saja aku tempuh untuk memeluknya, tapi aku memilih diam, dan sepanjang koridor toko, pelukanku adalah lampu – lampu yang menggerayangi tubuhnya, memeluknya tanpa tubuh adalah cara yang bisa ku tempuh saat ini, sampai doa yang ku pos kan kepada Tuhan sampai, untuk mengubahku menjadi manusia, itupun jika Tuhan tidak memilih – milih doa mana dan siapa saja yang dapat di kabulkan, jika begitu apalah arti sebuah doa dari manekin yang ingin menjadi manusia.
Sudah beberapa hari ini dia tak datang berkunjung, banyak pengunjung lain yang menggerayangi aku, ada wanita ada juga pria, jari – jarinya membuat aku jijik, enak saja mereka menyentuh aku. Kulitku, tubuhku hanya untuk laki – laki itu, tapi dia ada dimana ? apa dia baik – baik saja, aku rindu di sentuh. Sepanjang hari aku berdoa kepada Tuhan yang semoga saja tak menimbang – nimbang doa sebuah manekin pantas di kabulkan atau tidak, aku berdoa dari pagi hingga malam,  detak jarum jam membuat aku ngilu, sebab sudah berapa banyak waktu yang membuat aku semakin tersiksa karena rindu bertamu di sepanjang kulitku, dan berjuta – juta dia berjalan – jalan di ruang kepalaku, aku melihat ke sebrang toko ini, kau yang biasanya disanapun tak ada.
Dua hari tanpa kedatangnya membuat aku tak karuan, aku menangis tak tahu waktu dan tempat, hampir saja seisi toko tengah mempergokiku, karena aku menangis di saat toko ramai, seorang pengunjung heran melihat dari mana air di mataku ini, padahal jika bocor dari atap hujan pun tidak, aku hampir menjadi perhatian banyak orang, oh Tuhan dimana dia, aku bosan menunggu dan menunggu, aku rindu, sungguh, kulitku ibarat tanah gersang terbelah yang membutuhkan hujan bertahun – tahun, aku rindu di sentuh jari – jari nya. Dua hari penuh dengan sepi, walalu suara tawa dan perbincangan banyak orang disini tetap membuat aku merasa sendiri, suara – suara yang masuk ibarat sebuah kilat dan hanya sesaat, padahal di luar sadarku kilatnya menggeleggar, begitulah ramainya seisi toko ini, dan itulah rupa sepi hatiku. Kesepianku ini seolah di rahasiakan langit senja yang sedang cantik – cantiknya, itu sebabnya setelah bertemu dengannya aku selalu memuja langit senja yang pandai menjagaku dari lemah, demi tidak di ketahuinya, jika langit abu – abu, murung, dan menekuk dagu, comel sana sini bahwa aku tengah kesepian dan sesekali menangis, lalu siapa yang akan berbohong dan menjaga kelemahanku agar tidak menjadi buah bibir. Senja selalu menjadi yang terbaik di hati siapapun bukan, senja yang selalu menyita semua mata, senja keemas – emasan yang merah.
“ permisi mba, saya mau beli jas yang di pajang disana “, “ baik mas akan saya sediakan “.
Begitulah percakapan yang ku tangkap di belakang tubuhku yang kaku dan terpajang di depan toko, suara yang akrab dengan telingaku, suara yang lirih mendayu – dayu, suara yang menjelma lagu kebahagiaan, suaranya. Aku menyelipkan pelukan – pelukan tanpa tubuh di saku jas yang di pakai manekin laki – laki di sebelahku, jas ini akan dibeli laki – laki itu, jas ini akan di kenakannya, bersama pelukanku, yang akan menjaganya dari dingin, yang akan membuatnya tetap hangat, aku tak peduli mungkin dia akan merasa kegerahan atau semacamnya, pelukanku akan terus mengelana di sepanjang tubuhnya.
Setelah hari itu, batas aku menatapnya hanya di batasi jalan, dia tidak lagi berkunjung kesini, dia rutin datang ke coffee house, sekedar untuk bersantai sambil minum coffee dan menatap tanpa bosan perpisahan senja dengan Alam, aku menikmatinya dari sini, rasa rindu masih menggebu –gebu walau beberapa terselesaikan, namun dagaha di kulitku masih membara, terakhir berkunjung jarinya tak lagi menekan – nekan pahaku, padahal aku sangat ingin, hal itu sudah seperti candu yang membuat aku sakau. Dari hari ke hari memandanginya dari sini adalah satu – satunya cara yang dapat aku tempuh, meskipun aku dapat berlari menerobos kaca, tapi tak akan aku lakukan, banyak hal yang akan terjadi jika begitu, dia akan gila karena dia dicintai sebuah manekin, dan aku akan kehilangannya, kemungkinan terbaiknya adalah, dia memang sudah gila dari dulu dan akan menikahiku. Namun apalah arti cinta dari sebuah manekin yang terpajang sempurna di balik kaca toko, sementara keajaiban masih tidak mungkin hinggap di kehidupan sebuah manekin, biarkan laki – laki itu hidup selamanya dalam ruang kepala yang sudah terpenuhi berjuta – juta wajahnya, dan biarkan pula, kemarau panjang meretakkan kulit – kulit yang haus akan sentuhannya. Manekin itu selamanya terperangkap dalam bayang – bayang laki – laki beraroma jeruk yang menyegarkan, selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar